Sabtu, 18 Agustus 2012

Putih Tidak Selalu Suci

1 comment

esok hari gelegar takbir, tasbih dan tahmid menggelegar dari seluruh penjuru bumi untuk merayakan hari kemenangan. hari dimana seluruh muslim berada pada titik suci kehidupan. ya itu menurut para ustadz yang berceramah dari panggung kepanggung. tapi apakah esok hari kita semua benar-benar merasakan hari kemenangan dan jiwa kita benar-benar suci kembali. pernahkah pertanyaan itu meraung dan menggema di ujung lubuk sanubari terdalam?.

dua hal yang akan selalu ada yaitu terlihat dan terdengar di hari idul fitri adalah kalimat takbir dan pakaian putih. takbir selalu di identikan dengan sebuah ungkapan bahagia dan kemenangan di medan laga sedangkan putih selalu di identikan dengan makna suci, putih dan bersih. namun perlu kita ingat bersama bahwa saat idul fitri takbir tidak pernah berdiri sendiri, tapi juga selalu diikuti dengan kalimat tahmid dan tasbih serta tahlil. Subhanallah, al-Hamdulillah, Laa Ilaaha Illa Allah, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Walilah ilham.

Ketenangan batin tersimpan dalam gema dzikir yang bertalu-talu, dalam denting tahmid yang mendayu-dayu. Dalam kalimat tauhid yang menggebu dan dalam tasbih yang bergelora menghangatkan jiwa. dengan pakaian putih yang suci berjalan gagah menuju masjid -hanya- untuk sholat sunnah. ya hanya sholat sunnah, karena Sholat Idul Fitri hukumnya sunnah mu’akkadah menurut Syafi’iyah dan Malikiyah. Sedangkan menurut Hanbali hukumnya Fardlu Kifayah dan menurut Hanafiyah hukumnya Wajib. melihat dominasi mazhab syafi’i di Indonesia maka buat kebanyakan orang di nusantara ini sholat id adalah sunnah.

Ied-ud-Fithr terdiri dari dua kata, yaitu ied yang artinya hari raya, dari asal kata ‘ayada yg artinya kembali.Kata kedua fithr yang artinya fitrah, kesucian dan kebersihan jiwa. Ini karena pada hari itu seorang hamba merayakan kebersihannya dari noda-noda dosa karena beribadah dan bartubat secara intensif selama sebulan penuh. Maka ada yang menyebut hari idul fitri sebagai hari kemenangan karena kita berhasil mengalahkan hawa nafsu kita selama sebulan penuh. ada juga mengatakan kemenangan karena tujuan berpuasa adalah untuk menambah taqwa, dan didasarkan pada Firman Allah dalam Al Qur’an Surat An-Naba’ ayat (31) yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa mendapat kemenangan.”.

suci dan kemenangan
apakah puasa di bulan ramadhan kali ini menmbah ketaqwaan dan membuat kita suci sehingga berhak menyandang predikat pemenang di hari kemenangan?. apakah pakaian putih yang kita pakai adalah lambang kesucian, atau mungkin saja pakaian putih itu justru lambang kekalahan, karena dalam peperangan putih adalah perlambang menyerah dan kalah. dan “peperangan” di bulan ramadhan ini dalam melawan hawa nafsu baik dari luar maupun daam benar-benar telah menjadikan kita menjadi pemenang.

jika iya kita sudah menang, maka itu belum selesai, karena seperti kata pepatah, “lebih sulit mempertahankan daripada memenangkan”. apa yang akan kita perbuat setelah kemanangn ini saat jiwa kembali menjadi suci. apakah kita akan berlomba kembali untuk tetap istiqomah menjalankan sholat sunnah bukan hanya sholat sunnah seperti id saja. akankah kita tetap berzakat dan shodakoh seperti bulan mulia ini. apakah kita akan tetap meng-khatam-kan Al Quran seperti kita mengamalkannya dalam bulan ramadhan.

inilah PR sebenarnya dari esensi ramadhan, bukan sekedar menukmati “ngabuburit” atau “perayaan” saja. apakah silaturahmi pasca lebaran hanya menjadikan kita sebagai manusia gemar pesta yang justru acara itu keluar dari esensi silaturahmi sebenanrnya. apakah kita esok hari berhak untuk merayakan kesucian diri dan merasa menjadi pemenang? apakah kita telah berhasil perang melawan hawa nafsu dan menjadikan kita lebih taqwa hingga jiwa bisa menjadi suci seutuhnya. ataukah itu semua hanya retorika panggung para da’i yang dianggap nyata oleh ummat.

pakaian putih yang kita pakai dan seluruh tawa gembira kita di hari idul fitri mungkin hanya berada dalam raga dunia, karena bisa saja dalam lubuk jiwa terdalam dan jauh di mata Allah Subhanahu Wa’taala pakaian putih yang kita pakai bukanlah lambang kesucian tapi lambang kekalahan dan gema tawa yang kita dengungkan di dunia namun dimata Allah justru seperti tangis kekalahan. jika kita menjadi bagian orang yang beruntung untuk merasakan kemanangan sesungguhnya maka tantangan yang paling nyata adalah bagaimana mempertahankan kemenangan itu.

1 komentar:

  1. yap kadang sukabingung antara simbol putih yang di pakai sama putih yg ada di dalam hati, kelau yg di luar bisa di lihat tapi yg dalam belum tentu, sampai di situ kembali urusannnya sama sang pencipta masing2, hey bukankah kita tidak berhak menilai :)...

    mantep penuh inspirasidan renungan tulisannya sobat .

    Salam blogging, mudah2an kemenagan itu bisa di bagi dg yg lain, bukankah itu arti kemenagan yg sesungguhnya, saling berbagi.. salam ceria..

    BalasHapus

bagi komentar, saran dan kritiknya kawan.... (no spam)