Jumat, 10 Agustus 2012

Buta Huruf Atau Buta Moral ?

Leave a Comment

kemarin pagi saya melihat seorang anak lulusan sebuah Sekolah Dasar (SD) favorit berbicara di hadapan meja seorang guru dengan meletakan tangan di atas meja. mungkin bagi dia dan teman-temannya itu adalah hal yang bisa, remeh dan bukan persoalan besar. tapi buat saya bertahun-tahun yang lampau saat bersekolah di sebuah madrasah kecil di pelosok desa, perbuatan itu sangatlah tabu, adalah “pamali” atau pantangan seorang murid bicara di depan meja guru dengan meletakan tangan diatas meja. saya heran apakah perbuatan yang dianggap”tidak sopan” ketika saya kecil kini sudah menjadi hal yang lumrah.

lalu siapakah yang bertanggung jawab, guru yang hanya berorientasi pada pengajaran, bukan pendidikan. institusi yang berujung pada nilai angka bukan nilai moral. anak yang terjebak pada situasi bahwa siswa yang membayar guru, hingga terkesan guru adalah karyawan yang di bayar siswa. saya tentu harus mahfum pada situasi saya ketika menjalani pendidikan dasar di desa dengan segala keterbatasan dengan pendidikan di kota besar dengan segala fasilitas kemudahan. saat SD saya tidak kenal yang namanya einstein, yang di kenal hanyalah soeharto yang fotonya terpampang didinding kelas dari kelas 1 hingga 6 tanpa pernah ada orang yang berani menurunkannya.

untuk mencari tahu siapakah kartini saya harus ke perpustakaan sekolah yang menyatu dengan kantor guru, perpustakaan itu hanya memiliki satu rak dengan buku. saat salah satu orang berhasil menemukan “refrensi” kartini satu kelas biasanya langusng mengerubuti dan berlomba menyalinnya. tapi kini sudah berubah, anak-anak tinggal mengetik keyword “kartini” dalam search engine, dan akan muncul biografi kartini dari berbagai sudut pandang, baik itu sisi politik, ekonomi, feminism, feodalisme, perjuangan, dan sebagainya.

saya sepertinya memandang bahwa segala kemudahan teknologi yang tersaji membuat siswa (anak-anak dalam hal ini) tidak lagi memerlukan guru (orang tua) sebagai refrensi ilmu, tapi hanya menjadikannya “formalitas” ijazah. karena jangan lupa bahwa mereka yang cendrung berkantong besar bisa merogoh kocek cukup dalam untuk mengkuti les dan bimbingan belajar di luar. atau menywa sang guru sekolah untuk datang kerumah.

maka, janganlah heran kalau tulisan dianggap hanya tulisan tanpa makna. lihatlah tulisan “kebersihan sebagian dari pada iman” di suatu tempat yang sangat kumuh. atau banyak orang merokok di hadapan tulisan “dilarang merokok“. hingga membuang sampah di tempat yang sudah diberi tulisan “jangan membuang sampah disini“. tulisan sebatas sambungan huruf tanpa makna, tanpa esensi. mereka mungkin hanya membaca.

tentu saja kebanyakan para pelanggar ini bukanlah orang-orang buta huruf mereka mungkin saja orang-orang terpelajar yang memiliki titel. hal semacam ini menjadikan sikap sensitif terhadap lingkungan sosial bisa hilang, dan menjadikan tingkat egoisme meninggi. hilang sudah sikap menghormati kepada yang lebih tua, hingga justru menjadi sikap menyepelekan. hal-hal seperti ini sudah menjadi lumrah di kota-kota besar. dimana yang harusnya dibimbing mulai disingkirkan, orang tua dianggap babysitter gratis sebagai tempat penitipan anak.

tidak hanya itu hilangnya sikap menghormati yang lebih tua atau bahkan dalam kata yang lebih kejam, menyingkirkan. terjadi di tempat-tempat umum. tidak adanya sensitifitas sosial menjadikan rasa ego yang besar demi kenyamanan pribagi walau harus menyingkirkan orang tertentu tanpa rasa bersalah. perlu di telisik sebenarnya apakah sebagian orang-orang ini buta huruf atau buta moral.

saya yakin yang pemuda dan orang yang duduk itu tidak buta huruf dan buta mata, tapi mungkin buta moral dan buta sosial. ini adalah bagian sekelumit hidup yang tersaji di pojok-pojok kehidupan dan masyarakat. saya hanya coba menerka apa yang sedang dipikirkan sang nenek dengan meletakan tangan kanannya untuk menyangga dagu. adakah beliau berfikir “kanapa aku duduk disini dan kalian disana?”

0 komentar:

Posting Komentar

bagi komentar, saran dan kritiknya kawan.... (no spam)