Jumat, 30 Maret 2012

SBY-Boediono Tidak Boleh Turun Sebelum 2014

1 comment

tulisan ini mungkin tidak akan terlalu panjang, saya hanya mau menuli sedikit tentang salah satu suara yang sering diutarakan para pendemo, khususnya mahasiswa dari elemen tertentu. kenapa saya bilang tertentu, karena dalam isu demonstrasi BBM ini semua serikat buruh jelas menyatakan tuntutannya adalah tuntutan BBM tidak naik, dan beberapa elemen mahasiswa seperti BEM-SI misalnya konsen pada BBM bukan turunnya SBY. saya juga tidak akan membahas banyak, karena saya hanya akan melihat dari satu sisi saja jika presiden turun.
tuntutan untuk turunnya presiden adalah tuntutan paling konyol saat ini, meminta SBY turun ongkosnya terlalu besar, ada banyak sudut melihatnya dari sisi politik, ekonomi, stabilitas, hingga keamanan. namun kini saya coba memandang dari satu sudut sederhana yang jarang dibicarakan, yaitu bagaimana konstitusi membuat skema turunnya presiden ditengah jalan. SBY sebagai presiden jelas tidak bisa ujug-ujug turun, ada jalan panjang lewat mahkamah konstitusi.

panjang menjelaskan skemanya, anggap saja kita ambil jalan singkat presiden dan jelas tentu saja bisa dipastikan wapres juga berhenti setelah lewat sebuah proses panjang. pertanyaannya kembali seperti diatas? siapa yang akan memimpin negara? jawabannya adalah mendagri, atau bisa juga menko-menko. masalahnya bukan disitu, bagaimana jika sebelum presiden turun, sang presiden dan wapres tentunya membubarkan kabinet. jawabannya tidak ada mendagri atau menko karena mentri adalah bagian dari kabinet. jreng-jreng…
tribunnews.com

jika itu semua terjadi, maka yang akan memimpin negara akan memilih dalam struktur pemerintahan tapi tapi bukan bagian dari kabinet yang diangkat langsung oleh presiden, yaitu Panglima TNI dan KAPOLRI. jawabannya diantara keduanya siapa yang berhak? posisinya jelas setara ada dua pilihan salah satu legowo, kalau salah satu tidak ada yang ikhlas maka keduanya bisa “berperang” dan jelas terjadi chaos yang lebih parah. anggap saja salah satu ikhlas dan kemungkinan di tampuk pimpinan negara adalah Panglima TNI, maka indonesia resmi berada di bawah junta militer. dan sangat absolut republik berada di bawah kekuasaan militer murni dan resmi tanpa kudeta, persis yang terjadi saat soeharto naik dalam tampuk kekuasaan.

berada dibawah kekuasaan militer dengan periode panjang dan melelahkan sangat beresiku dan mengelurkan ongkos lebih besar bagi masyarakat indonesia. dimasa apapun dan dinegara manapun jika militer dalam tampuk kekuasaan tetap tidak baik, dari musolini di eropa, idi amin di afrika, fidel castro di amerika, hingga kim jung il di asia. jika ada pertanyaan masa sekarang jelas beda dengan masa lalu, benar maka mari berkaca pada tetangga ASEAN kita saat militer dalam tampuk kekuasaan, Thailand dan Myanmar. perlu waktu yang panjang untuk sebuah transisi mengembalikan negara pada kekuasaan sipil murni.

jika benar-benar benci pada SBY dan seluruh yang tersangkut dirinya, hingga kebencian itu membuat susah berlaku adil maka bersabarlah. jika kesabaran sudah habis maka tambah saja kesabaran itu. tinggal 2 tahun lagi dia ditampuk kekuasaan,  jangan hawa nafsu sesaat mengorbankan hal yang lebih besar.

terakhir, penutup yang tidak ada hubungannya dengan tulisan diatas,
saya hanya berharap BBM tidak naik dan unjukrasa tidak anarkis. dan jikapun iya BBM naik saya harap pemerintah menepati janjinya untuk infrastruktur walau saya ragu janji itu benar-benar ditepati, kita tahu semua infrastruktur adalah ladang korupsi lewat rekayasa tender. namun saya ingat kata-kata Doa almarhum kakek saya,

Allahumma laa tusallith ‘alainaa bidzunuubinaa man laa yakhaafuKa walaa yarhamunaa
(Ya Allah ya Tuhan kami, janganlah kuasakan atas kami - karena dosa-dosa kami - penguasa yang tidak takut kepadaMu dan tidak mempunyai belas kasihan kepada kami)
Read More...

Jumat, 16 Maret 2012

Imaji dalam Semangkuk Sotoji

4 comments
Sebelum membuat tulisan tentang sotoji saya ingin mengucapkan terimakasih terlebih dahulu atas kiriman paket berwarna coklat dengan isi 3 bungkus mie instan berwarna hijau muda alias “SOTOJI”. Mungkin ini pertamakalinya sebuah brand produk mengirim sample produknya secara gratis untuk “diuji coba” oleh khalayak umum. Saya rasa pertimbangannya mungkin karena “SOTOJI” belum ada dipasaran, setidaknya indikasi sederhana yang bisa saya sampaikan, produk mie instan ini belum masuk rak-rak minimarket berlabel ‘mart’ yang tersebar sampai plosok indonesia. Inilah poin pertama yang ingin saya apresiasi dari pihak “SOTOJI” secara marketing. Sebenarnya paket kiriman datang beberapa hari yang lalu, mungkin sekitar awal maret dan diterima oleh teman kost saya. Isinya langsung saya buka, berisi 3 bungkus mie instan “SOTOJI”. Namun baru kemarin saya mulai berkreasi meracik “SOTOJI”. Awalnya juga tidak berniat masak, tapi karena lapar melilit pas tengah malam dan lagi males ke angkringan, iseng-iseng saya masak “SOTOJI” tengah malam. Setidaknya bikin otak kembali fresh mengejar deadline dari dosen yang bikin kepala nyut-nyutan, kan kalo perut tenang, otak juga aman.
3 bungkus sotoji dalam paket

Diawal, sebelum membuka saya bertanya-tanya kenapa namanya “SOTOJI”, mungkin kepanjangan Soto Jamur Instan (ternyata benar setelah saya tanya mbah google). Asumsinya, mie instan rasa soto (udah biasa dan tidak aneh) dan ada jamur instan (ini baru dan bikin penasaran). Kenapa aneh, karena saya tidak pernah makan soto jamur, paling juga makan soto ayam yang lewat tiap pagi depan kost. Ini korelasi unik setidaknya salah satu produk makanan unik pertama yang saya temui di tahun 2012 soto+jamur = mie instan soun. Rasa? Saya belum bisa menyimpulkan sampai saya menghabisi –setidaknya- satu bungkus dengan lahap.

Bermodal peralatan masak ala anak kost, keluarkan kompor portable, semacam panci kecil bergagang (ga tau apa namanya), dan sendok. Semua mie instan punya standar sama dalam proses memasak. Bedanya, dalam memasak “SOTOJI” harus mengikutkan jamur-nya untuk direbus, inilah letak kesalahan pertama saya dalam memasak “SOTOJI”, jamurnya tidak ikut saya rebus. Perhatian, ternyata petunjuk memasak untuk mekanan atau petunjuk pemakaian sebuah alat walau terkesan sederhana dan remeh-temeh, penting untuk diperhatikan.

Jadilah “SOTOJI” ala anak kost alias ala kadarnya, jelas beda tampilan “SOTOJI” yang saya buat dengan tampilan di kemasan hijau yang penuh dengan “asesoris”. Toh itu semua tidak mengurangi rasa, untuk anak kost tampilan tidak perlu cantik karena makanan bukan buat di lihat tapi dimakan. Masak, matang, makan 3M prinsip anak kost kelaparan tengah malam. Lalu bagaimana rasanya? Sepertinya untuk satu ini saya perlu jujur. Rasanya cukup enak, jika dipaksa lebih maka saya akan bilang “SOTOJI” enak, saya tidak bisa kasih lebih rate lebih dari itu, karena makanan “paling enak” diatas kata “enak” adalah makanan rumah buatan ibu yang selalu membuat saya rindu pulang kampung.


pamer peralatan sebelum masak

Si Hijau yang Kenyal

Menikmati “SOTOJI” adalah sebuah sensasi baru dalam menikmati mie instan. Setidaknya produk ini berani tampil beda. Dimulai dari sebuah UBB (Usaha Bakal Besar) alias UKM (Usaha Kelas Miliyaran), -nama adalah doa dari nama muncul pemikiran positif untuk maju- dengan melakukan ekspansi nekad, saya bilang nekad. Sebuah pertaruhan besar jika “usaha rumahan” menantang industri besar dalam bisnis makanan, jelas incaran “SOTOJI” adalah pangsa pasar “mi kuning”. Saya kira “SOTOJI” dimunculkan bukan seperti bungkisan saleh atau produk makanan oleh-oleh, si hijau ini muncul untuk masuk sebagai industri besar. Masuk dalam percaturan bisnis makanan instan saja adalah sebuah langkah berani, apalagi masuk dalam percaturan bisnis mie instan yang sangat ketat.

Mengambil pasar konsumen mie kuning yang disuguhi “ayam” dan “sapi” dan menggantinya dengan mie putih jamur adalah tantang berat, hil yang mustahal kalau menurut srimulat, kalau kata Ethan Hunt mission impossibel. tapi kalau kata simbah saya “impossible is nothing” bung, jadi jangan percaya srimulat dan Ethan Hunt, percaya kata-kata simbah saya. Memang mengambil pasar mi kuning terlalu beresiko, tafsir saya “SOTOJI” mengincar penyuka mie putih dan “jamurjunkis” ini lebih rasional sepertinya. Sebuah pencapaian puncak dimulai dari langkah kecil, dan “SOTOJI” sudah memulainya.

ini masak mie, jamur-nya ketinggalan

Diatas saya menulis menikmati “SOTOJI” adalah sebuah sensasi baru, sensasi dalam dua hal pertama produk makanan itu sendiri yang unik dan baru serta sensasi perjuangan memulai bisnis dan industri. Sayu beritahu satu hal yang diberikan “SOTOJI” sebagai mie instan tapi tidak diberikan produk lain. Yaitu, “SOTOJI” tidak hanya memberikan jiwa (baca: rasa) tapi juga raga (baca: jamur). Jika produk sejenis hanya meberikan rasa, seperti mie rasa ayam, rasa rendang, rasa sapi dan sebagainya, “SOTOJI” hadir dengan rasa jamur juga dengan dihadirkannya wujud nyata jamur dalam setiap bungkusnya. Ini yang tidak diberikan produk lain yang sejenis, ini senjata yang harus dimanfaatkan.

Jamur yang kenyal dan mi putih yang menggoda selera ditambah harumnya bumbu. Si hijau harusnya bisa eksis di dunia industri makanan. Setidaknya begitu harapan saya, bisa melihatnya di jogja menemani malam-malam saya mengerjakan tugas doesn yang bikin setres kepala. Tentunya tanpa perlu order online artinya distribusinya udah luas.

ini hasilnya, tampilan ga penting yang enting enak dan kenyang

Terakhir dari saya, tentang si hijau yang berisi soun dan jamur, saya suka makanan ini. saya suka rasa baru, “SOTOJI” memberi alternatif lain tentang mi instan. Buat anak kost seperti saya mi instan adalah bagian hidup yang sulit terpisahkan. Dan apabila “SOTOJI” bisa hadir di rak-rak warung klontong jogja tentu suatu saat nanti “SOTOJI” bisa jadi bagian dari sejarah hidup yang menemani saya, mengisi perut kala malam. saya kira ini bukan hanya imajinasi saya, meliaht "SOTOJI" ada di rak-rak makanan seluruh indonesia tentu saja utamanya jogja.
Read More...

Rabu, 14 Maret 2012

Negeri 5 Menara : Kesuksesan Butuh Lebih Dari Sekedar Harapan

Leave a Comment
Banyak orang –terutama “mantan” santri- yang merasa seperti mengembalikan memori masa-masa lucu, unik, haru, suka bahkan mungkin saja derita saat menyaksikan film negeri 5 menara. Film ini memberi “bau” (meminjam istilah edwin sineas indonesia penerima New Talent Award di Asian Film Awards (AFA)) artinya ada kemungkinan secara visual sebuah film bisa memicu memori seseorang akan bau. Memori saja, bukan secara fisik ada baunya. Banyak sekali ingatan yang hilang karena situasi di luar tidak memungkinkan orang menyimpan ingatan itu. Dan film dengan sinema mampu menggali momen-momen yang tersimpan lama. Film ini mungkin hanya membuat sebagian kecil saja penonton yang me-refleksi masa santri-nya. Namun film yang diangkat dari semi-otobiografi Ahmad Fuadi justru menghasilkan sesuatu yang lebih besar, yakini memberi gambaran sebuah pesantren modern secara umum. Affandi sebagai sutradara seperti berhasil membongkar setereotip pesantren di bioskop yang digambarkan oleh Nurman Hakim (3 doa 3 cinta) Hanung Bramantyo (Perempuan Berkalung Sorban ) yang kaku kolot dan terkucil. Negeri 5 menara memberi gambaran pesantren dan model pendidikan boarding school dengan elegan langsung dari pesantren itu sendiri sebagai lokasi. bukan seperti film-film yang saya sebuatkan diatas yang membut pesantren buatan.

Film Negeri 5 Menara bisa saja disandingkan dengan Laskar Pelangi dan Semesta Mendukung, dalam visualisasi cerita Dengan mejadikan harapan, mimpi, kesederhanaan, dan persahabatan menjadi modal iklan menarik penonton. Tapi secara emosi Negeri 5 Menara lebih dekat dengan Laskar pelangi, setidaknya itu yang selalu digambarkan tak hanya oleh para kritikus film tapi juga semua orang yang menyaksikan film ini. keduanya seperti sauadara sepupu, ada ekspektasi yang kurang lebih sama dari para penonton di bioskop. Berangkat dari novel laris, kehidupan lokal indonesia, perjuangan, harapan, mimpi dan persahabatan menjadi senjata keduanya.

Membandingkan Negeri 5 Menara dan Laskar Pelangi memang bukan seperti membandingkan “Ronggeng Dukuh Paruk” 2011 dan “Darah dan Mahkota Ronggeng” 1983 diamana keduanya sama-sama berasal dari novel yang sama karya Ahmad Tohari. Mungkin Negeri 5 Menara dan Laskar pelangi adalah dua kisah, setting, penokohan hingga akhir cerita yang berbeda. Keduanya memiliki sebuah nilai yang sama persahabatan, keyakinan, dan harapan nilai yang mulai hilang ditelan zaman. Tapi keduanya memiliki sebuah garis pembeda yang sangat esensial, yaitu nilai kesuksesan. Jika laskar pelangi menjadikan individu sebagai sebuah nilai sukses, maka Negeri 5 menara menjadikan kebersamaan sebagai objek utama.

sumber gambar | madamafm.com


Kesuksesan, Perjuangan dan Mantra

Pemandangan danau maninjau di Sumatra Barat menjadi gerbang pembuka sekaligus penanda dimana tokoh Alif (Gazza Zubizareta) berasal. Dimulai dengan pertentangan dan proses “pembuangan” Alif ke pesantren untuk memenuhi keinginan sang ibu nan jauh di pulau sebrang. Alif berada dalam dua pilihan sulit, mengikuti cita-cita dirinya untuk kuliah di ITB bersama kawan kecilnya Randai (Sakurata Ginting) atau menjalankan mandat kedua orangtuanya untuk masuk pondok pesantren. Alif akhirnyamengikuti keinginan ibu dan ayahnya untuk berangkat ke ponorogo untuk belajar di pondok pesantren gontor dengan keterpaksaan. Rasa berat dan terpaksa Alif perlahan luluh saat di pesantren bertemu dengan kawan-kawan baru yang kemudian menjadi sahabatnya yakni Baso (Billy Sandy) yang berasal dari Sulawesi Selatan, Said (Ernest Samudera) dari Surabaya, Atang (Rizki Ramdani) dari Bandung, Raja (Jiofani Lubis) dari Medan, dan Dulmajid (Aris Adnanda Putra) dari Madura. Hingga mereka menjadi sebuah geng bandel di Gontor, geng yang terkenal dengan sebutan sohibul menara.

Setelah itu cerita cendung berlangsung datar, tanpa konflik dan potongan-potongan plot yang saling meloncat. film ini seperti merengkuh dan mencoba menjadikan setiap tokoh punya cerita masing-masing. Alif dengan kisah cintanya bersama putri kiyai hingga pidato bahasa inggris Baso, bahkan urusan perbaikan genset oleh Atang. Film kemudian berlangsung tidak fokus pada satu cerita. Seperti serpihan-serpihan mozaik yang coba disatukan film ini susah untuk mencari kedalam cerita. Penonton cukup dibuat tertawa oleh tingkah para “gengster” sohibul menara kemudian tegang saat mereka tertangkap basah hingga kemudian mengguk mengikuti nasehat para guru.

Film ini memang film motivasi dan inspiratif mencoba menyajikan kesederhanaan cerita untuk supaya penonton mengambil hikmah. Ada beberapa plot dimana muncul konflik sebenarnya, namun terhenti disitu. Seperti saat Alif berkunjung kebandung menemui sahabat lamanya di ITB terbersit keinginan untuk brontak dan mengjar cita-cita namun pertentangan itu tak berlangsung lama hingga Alis kembali ke Gontor. Ada nilai bagaimana Negeri 5 Menara mengajarkan untuk membuat keputusan dalam keadaan terjepit. Tak hanya Alif saat terpaksa harus belajar di gontor dengan keterpaksaan, begitu juga saat Baso memutuskan untuk meninggalkan Gontor dengan berat hati kala neneknya sakit keras.

Manjadda wa Jadda, pekikan yang diteriakan ustad Salman (Dony Alamsyah) selepas mematahkan kayu dengan sebilah golok. Seperti menjadi teriakan kata Merdeka dalam film “Janur Kuning” selau terulang sebagai kata-kata penyemangat dalam perjuangan. Mantra arab yang berarti “siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil” menjadi azimat dalam setiap permasalahan, mengingatkan saya akan Allizwell dalam film india berjudul “3 idiot” yang dibintangi Amir Khan. Frasa ini membuat penyadaran publik bahwa untuk meraih kesuksesan kita membutuhkan perjuangan dan kala dalam perjuangan ada proses terjatuh kita terkadang membutuhkan mantra motivasi untuk kembali bangkit. Manjadda wa Jadda.

Film dengan plot yang meloncat-loncat dan irama yang datar serta tidak ada keterkaitan antar setiap cerita yang dihadirkan menjadikan film terasa agak aneh dan hambar. Bahkan sang ustad motivator yang menggebu-gebu tiba-tiba seperti harus lenyap begitu saja seperti tanpa jejak. Entah tokoh ini dimunculkan kemudian dilenyapkan begitu saja. Begitu juga dengan peran sang kiyai yang dimainkan oleh Ikang Fwazi. Menjadikan “sang preman” yang tiap hari menyanyi “ejakakulasi dini” di depan televisi sebagai seorang kiyai kharismatik adalah sebuah pertaruhan besar untuk Affandi Abdul Rahman sebagai sutradara. Tapi sepertinya pertaruhan ini cukup berhasil, ikang fawzi cukup kharismatik dengan wajah kusut dan serius terutama saat menasehati 6 anak bandel di sofa.

Terlepas dari plot yang saling terlepas, jalinan cerita yang dirangkai oleh Affandi lewat sekenario Salman Arsito sangat enak dinikmati. Ringan dan sederhana, mungkin nilai kesederhanaan ini yang coba diberikan, disinilah sisi lain yang saya lihat sebagai kekuatan. Kesederhanaan yang menggambarkan sikap manusiawi memang menjadi poin tersendiri di dalam film ini, persahabatan dan saling menguatkan cukup untuk membuat penonton terbawa suasana. Terkadang tertawa oleh tingkah nakal dan kemudian serius mendegar petuah.

Yang tidak boleh terlewatkan dari film ini sebenarnya adalah departemen akting dan lokasi. Dua kekuatan film Negeri 5 menara yang menjadi pondasi film ini. menjadikan orang-orang awam film, yang dimana sebelumnya tak saling mengenal kembali menjadi pertaruhan besar. Entah kenapa saya suka melihat para pemeran utama yang diperoleh dari sebuah roadshow audisi ini, keenamnya cukup total walau sepertinya agak kesulitan dalam pelafalan logat daerah untuk satu ini saya angkat dua jempol. Sepertinya ikatan pasa sohibul menara terbentuk begitu kuat seperti dalam adegan pulangnya baso ke tanah kelahiran, walau original score/ backsoundnya kurang dramatis namun akting para pemeran utamanya menutup celah itu sangat dramatis dan luar biasa.

Selain departemen akting yang patut diacungi dua jempol adalah lokasi, keputusan untuk pengambilan gambar di danau maninjau sumatra barat, masuk kedalam pondok pesantren gontor di ponorogo, bandung hingga london tentu adalah keputusan berani terutama unruk urusan dompet. Totalitas sepertinya yang membuat film ini dibuat sangat detail untuk urusan lokasi. Sayangnya pertemuan london agak dipaksakan, seperti penggambaran Kabah dalam film Emak Ingin Naik Haji cukup memberi nilai di ending cerita walau Negeri 5 Menara menjadikannya lebih sensaional. Mungkin ini dikarenakan dibatasi durasi.

Hal ketiga yang sangat elegan dari film ini adalah detail yang jarang terlihat di film indonesia. setting 80-an termasuk segala ornamen dan properti termasuk iklan, hingga logat-logat bahasa daerah termasuk aran dan inggris di gontor yang sangat diperhatikan. Yang jangan kita lewatkan adalah score dari trio Aghi Narottama-Bemby Gusti-Raymondo Gascaro dan themesong karya Yovie Widianto yang menjadikan film terasa lebih berwarna. Sekali lagi luar biasa.

Syahdan

Jika kita berfikir menonton Negeri 5 Menara hanya untuk menyaksikan bagaimana mantra Manjadda wa Jadda bisa menjadikan orang sukses maka kita salah besar. Affandi Abdul Rachman sebagai sutradara memberi lebih dari sekedar itu. Film ini menghadirkan bagaimana seseorang dihadapkan pada pilihan untuk meletakan kepentingan keluarga diatas individu. Itu terlihat dari Alif yang mematuhi orang tuanya dan baso yang pulang demi neneknya. Film ini menghadirkan mozaik dan metafora ke-Indonesia-an yang penuh pesona warna budaya. Menggambarkan islam dan pesantren yang moderat dan yang terbuka. Memberi gambaran guru yang tak sekedar mengajar tapi juga mendidik serta memotivasi. Dan yang utama adalah persahabatan saling melengkapi dan saling mendampingi.

 Dari sisi teknis, diluar plot yang meloncat dan irama yang datar seperti tanpa konflik yang meletup. film ini sesungguhnya menghadirkan kesederhanaan dan konflik yang manusiawi. Potongan-potongan plot dirangkai menjadi mozaik yang memberi warna baru. Diluar itu sebenarnya penokohan, setting, lokasi hingga detail-detail yang dihadirkan adalah nilai tersendiri untuk film Negeri 5 Menara. Semua kekurangan seperti berhasil ditutupi oleh akting para pemain yang total dan natural. Kita seperti dibawa dari indah dan asrinya Danau Maninjau menuju glamornya Trafalgar Square di Inggris dengan melewati sebuah tempat yang dinamakan Pondok Pesantren.

Terakhir film Negeri 5 Menara tidak hanya menghadirkan mantra Manjadda wa Jadda, tapi juga dibuat dengan menggunakan mantra tersebut. Dibuat dengan begitu sungguh-sungguh, maka mari penuhi ruang bioskop, mari kita lihat setinggi apa menara yang mampi kita bangun. Karena kesuksesan butuh lebih dari sekedar harapan, tapi perjuangan bahkan terkadang sebuah mantra.
Read More...