Kamis, 14 April 2011

Pasar Malam

Leave a Comment
sumber foto : jadi berita.com

negeri ini layaknya sebuah pasar malam, dan undang-undang hanyalah sebuah coretan penuh keplasuan. undang-undang yang dibuat oleh para badut-badut senayan sesungguhnya adalah dinding-dinding ketidakadilan, dibalik dinding-dinding undang-undang itulah kita para penonton hanya bisa menatap politik tanpa etika, kekayaan tanpa kerja keras, perdagangan tanpa moral, pengetahuan tanpa karakter kesenangan tanpa nurani, dan raga tanpa jiwa.

kita adalah penonton para badut-badut senayan bergaya di dinding kamera, berdecak pinggang merasa negari ini milik pribadi. para badut pemain sirkus menari dan tertawa dalam mitologi diri mereka, bicara tentang kebebasan namun menjadi penjajah, menjadikan kita para penonton pertunjukan sirkus pasar malam para badut-badut senayan atas dasar demokrasi dan perwakilan, tak perlulah kita marah cukup tertawa menyaksikan aksi mereka. dan kita para penonton adalah penikmat aksi-aksi mereka di layar kaca dan lembaran koran. nikmati saja aksi para badut yang setia.

-dua paragraf untuk di tulis di prasasti peletakan batu pertama, tempat pertunjukan sirkus berikutnya-
Read More...

Jumat, 01 April 2011

Benarkah Taufiq Ismail Melakukan Plagiat?

Leave a Comment

ada kabar hangat akhir-akhir dikalangan sastrawan dan para penyair indonesia, yaitu pertanyaan besar apakah Taufiq Ismail melakukan plagiat atas karya Douglas Malloch?. pertanyaan ini menjadi teka-teki besar karena muncul setelah perngatan 55 tahun (1953-2008) terjunnya Taufiq Ismail dalam dunia sastra. namun hingga kini sesepuh dari Majalah Sastra Horison tersebut masih belum buka suara tentang kasus plagiat tersebut. yang telah mengeluarkan pernyataan justru Fadli Zon (Ketua Panitia 55 Tahun Taufiq Ismail berkarya tahun 2008) Fadli Zon juga yang terlibat dalam pembukuan 1076 halaman puisi-puisi Taufiq Ismail yang berjudul “Mengakar ke Bumi Menggapai ke langit. dugaan plagiarisme yang dilakukan Taufik Ismail dalam puisinya -diduga- berjudul KERENDAHAN HATI atas THE BEST OF WHAT EVER YOU ARE Doglas Malloch seorang Fermeson.

mari kita bandingkan kedua puisi tersebut :

BE THE BEST OF WHATEVER YOU ARE
By Douglas Malloch

If you can’t be a pine on the top of the hill,
Be a scrub in the valley — but be
The best little scrub by the side of the rill;
Be a bush if you can’t be a tree.
If you can’t be a bush be a bit of the grass,
And some highway happier make;
If you can’t be a muskie then just be a bass —
But the liveliest bass in the lake!
We can’t all be captains, we’ve got to be crew,
There’s something for all of us here,
There’s big work to do, and there’s lesser to do,
And the task you must do is the near.
If you can’t be a highway then just be a trail,
If you can’t be the sun be a star;
It isn’t by size that you win or you fail —
Be the best of whatever you are!

KERENDAHAN HATI
Oleh Taufik Ismail

Kalau engkau tak mampu menjadi beringin yang tegak di puncak bukit
Jadilah belukar, tetapi belukar yang baik, yang tumbuh di tepi danau.
Kalau kamu tak sanggup menjadi belukar,
Jadilah saja rumput, tetapi rumput yangmemperkuat tanggul pinggiran jalan.
Kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya
Jadilah saja jalan kecil,
Tetapi jalan setapak yang
Membawa orang ke mata air
Tidaklah semua menjadi kapten
tentu harus ada awak kapalnya….
Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi
rendahnya nilai dirimu
Jadilah saja dirimu….
Sebaik-baiknya dari dirimu sendiri

mirip kah?
amat sangat mirip, malah kalau kata bahasa ngapak namanya plek-jiplek. namun tuduhan atas tindakan plagiat ini dibantah oleh Fadli Zon, fadli Zon menggap bahwa “tuduhan plagiat adalah tuduhan serius dan bisa menjadi kematian perdata bagi penulis. Oleh karena itu harus dibuktikan dimana plagiatnya.” ketika ditanyakan lebih lanjut, Fadli Zon sebagai Ketua Panitia 55 Tahun TI berkarya tidak pernah tahu karya TI itu. Tidak pernah dengar juga TI membacakannya. Padahal hampir di setiap pembacaan puisi TI dirinya selalu hadir. Demikian pula tak ada di buku kumpulan puisinya yang 1076 halaman itu.

kesimpulannya dari diskusi sampai tadi malam di “lapak” pegiat sastra, kebudayaan, dan teater Bramantyo Priyosusilo yang pernah aktif di Bengkel Teater Rendra 1983-18987. kuatnya argumen dari Fadli Zon bahwa tidak pernah menemukan satupun puisi berjudul “Kerendahan Hati” di daftar semua karya dari Taufiq Ismail dari tahun 1953. tidak ada argumen kuat yang menyatakan Taufiq Ismail melakukan plagiat jika tidak ada bukti “refrensi” resmi, tidak sekedar saling kutip di internet. hinggap saya sempat urun kata, “saya kira kita mendapatkan kesimpulan dari diskusi ini”.

menarik jika kita mengutip pernyataan Bambang Eko Susilo, “perlu diketahui juga, bahwa “Kerendahan Hati” itu salah satu bahan perenungan yg dibacakan pada apel pagi di hadapan 100an lebih siswa pendidikan dasar sebuah perhimpunan pendaki gunung penempuh rimba tertua yg dimiliki bangsa ini, dan itu dilakukan sejak 70an hingga terakhir th. 2010 lalu. pada halaman buku materi latihan pokoknya pun dilampirkan pula bait-bait “Kerendahan Hati” tanpa tulisan “Taufik Ismail” di bawahnya.”

artinya kata-kata itu sudah banyak beredar sejak lama, tanpa nama Taufiq Ismail, bahkan sumber tertua yang saya dapat dari internet yaitu pada tahun 2007, dan kemudian muncul di youtube sekitar 2010. pertanyaan besarnya kemudian adalah apakah Taufiq Ismail tahu tentang hal ini (Kerendahan Hati dianggap milik Taufiq Ismail)? jika tahu mengapa tidak pernah ada klarifikasi? pertanyaan ini terus mengemuka dibeberapa kalangan.

saat pernyataan Fadli Zon tadi malam seputar bukti otentik cetak atau pernyataan Taufiq Ismail soal Puisi tersebut belum bisa dibuktikan. hari ini saya mendapat gambar scan dari sebuh buku mata pelajaran bahasa indonesia dari saut situmorang.


dengan munculnya “bukti” ini maka pertanyaan Fadli Zon seputar bukti otentik tersebut terjawab sudah. apakah taufik ismail itu taufiq ismail? silahkan tebak sendiri. ini seperti pertanyaan gunawan muhammad atau goenawan muhammad. saya tidak akan berdebat ini karya taufik atau taufiq saya kira anda faham kan. maka bukti ini memunculkan 2 kemungkinan:

pertama. sang penulis proyek buku bahasa indonesia tersebut memang mengutip karya taufiq ismail dari refensi resmi, maka refrensinya dari mana?
kedua. penulis buku tersebut hanya asal kutip tanpa refrensi dan tanpa ijin, jika pun itu benar “karya” taufiq ismail.

maka kemudian kunci jawaban atas kasus ini terletak pada penulis buku ”Terampil Berbahasa Indonesia Kelas VIII SMP/MTs”. silahkan anda sendiri yang menilai, namun jangan terburu nafsu karena Taufiq Ismail sendiri masih belum mengeluarkan pernyataan hingga saat ini. bersabarlah.

Read More...