Rabu, 29 Februari 2012

Prof, Kembalikan Timnas Kami

8 comments

hanya ilustrasi

Sejak sore teman-teman sudah berkumpul di beranda depan, tivi dari kamar sengaja dikeluarkan dan di taruh di emperan selasar kamar kost. Rintik gerimas tak menghalangi kami untuk berpesta, setidaknya itulah gambaran beberapa jam kedepan dari sebuah siaran langsung di sebuah televisi swasta nasional. Menjelang gelap teman-teman mulai berkumpul  ditemani bakaran pisang sebagai pelangkap pesta. Semuanya seperti berjalan begitu sempurna hingga kick off babak pertama dimulai. Bahkan sorak sorai terus membahana kala andik vermansyah membuat indonesia unggul di babak pertama. Kami bersorak seolah tak ingin kalah dengan ribuan saudara kami di berunai sana yang memerahkan negeri kuning. Namun sayang keceriaan, tawa dan kebahagiaan serta sorak sorai kami terhenti tat kala Kyaw Zayar Win menyamakan kedudukan saat paruh kedua belum genap 150 detik. Kami terdiam sejenak dan berharap garuda muda akan bisa membalikan keadaan, tapi itu semua hanyalah mimpi saat Kyaw Ko Ko membuat dua gol yang membuat 200juta penduduk indonesia tertunduk lesu penuh duka.

Prof, kami tidak marah pada para pemain, kami tahu mereka sudah berjuang dalam batas mereka. Kami tahu mereka bersedih dan mungkin jauh lebih sedih dari kami. Kami membayangkan bagaimana suasana ruang ganti yang penuh dinamika. Saat akan dimulai babak pertama wajah-wajah tegang penuh optimisme hadir disana, saat istirahat paruh kedua wajah kegembiraan dan kebanggana muncul, dan kala pertandingan berakhir kami yakin guratan lesu dan duka penuh kecewa mewarnai kondisi ruang ganti. Kami tahu mereka sudah bekerja keras, tapi kerja keras selama 90 menit tak cukup untuk memenangkan pertandingan. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada seluruh pemain yang hadir di brunai, kami yakin line up yang di bawa bukan yang terbaik yang ada di indonesia. sehingga pasca pertandingan tak salah saat teman kost saya mengatakan ini bukan Timnas inonesia U21. Tapi, LPI Slection U21.

Prof, dulu orang-orang liga ilegal yang kini menjadi liga resmi berteriak bahwa semua orang berhak membela Timnas apapun klubnya. Kini kemana suara itu saat liga yang dulu dianggap pembangkang kini menjadi penguasa. Mana suara yang menyatakan setiap pemain boleh berbaju dengan garuda di dada tanpa diskriminasi klub dan jenis liga. Kenapa pemain harus dikorbankan dalam konflik ini. jikalau memang sebagai otoritas tertinggi melarang pemain-pemain muda berkualitas seperti, seperti Ramdhani Lestaluhu (Persija), Lucas Mandowe(Persipura), Moses Banggo (Persipura), Jeki Arisandi (Sriwijaya), bahkan hingga Octavianus Maniani (Persiram), hanya karena bermain di liga yang dianggap ilegal. Tentu tak salah jika otoritas tertinggi memanggil Muhammad Zainal Haq (Penarol-Uruguay),  Manahati Letusen (Penarol-Uruguay),  Abdul Rahman Lestaluhu (Penarol-Uruguay), dan  Mokhamad Syaifuddin (Universidad de Conception-Chilie),  Feri Firmansyah (Universidad de Conception-Chilie), serta Syamsir Alam (CS Vise-Belgia), Yandi Sofyan(CS Vise-Belgia),  Alfin Tuassalamony (CS Vise-Belgia), dan Yericho Christiantoko (CS Vise-Belgia), bahkan hingga Arthur Irawan (Espanyol-Spanyol).  Walau mungkin tidak bisa memanggil Stefano Lilipay (Utrech-Belanda) untuk timnas U21 karena usianya genap 22 tahun 10 januari kemarin.

Prof, Timnas entah itu U21, U23, dan Timnas senior bukanlah milik personil liga resmi semata, siapapun dia jika dia mampu dan mau tentu tak berhak dihalangi. Bukankah konstitusi kita menjamin hak warganya untuk melakukan bela negara. Mari berkaca pada Amerika Serikat, tanyakan pada Toni Meola (kiper), Marcelo Balboa (bek/belakang), dan Paul Caligiuri (Gelandang/tengah) yang bermain di dua piala dunia walau kedunya tidak bermain di klub prefesional alias hanya “tarkam”. Atau mari belajar pada tentangga kita Selandia Baru, yang  memiliki 2 dua pemain tanpa klub, Simon Elliot sama David Mulligan, keduanya unattached.  Serta yang main di liga non-professional (tarkam-indonesia/pen)  ada 3 orang yakni, Ivan Vicelich, Aaron Clapham, dan James Bannatyne. Dan tentu ingatan kita masih kuat saat Boaz Salossa di tahun 2004 membela Timnas senior walau masih duduk di bangku SMA.

Prof, kita punya banyak pemain hebat dan berbakat di Indonesia, tak semuanya ada di liga resmi. Kembalikan kebanggan kami, kembalikan Timnas kami, bukan liga resmi selection. Trik apalagi yang anda gunakan untuk menahan hasrat serta kebanggan rakyat indonesia. Jangan letakan kepentingan dan dendam golongan diatas kebanggan akan prestasi sebuah bangsa. Kami tidak menyuarakan anda mundur seperti saat memaksa pendahulu anda untuk mundur dengan paksa. Kami bukan pendukung pendahulu anda, kami hanya tak rela reformasi ini dirampas dan seolah-olah menjadi jasa seseorang. Kami tak ingin revolusi kita hanya menimbulkan perpecahan baru yang semakin parah. Kami ingin perubahan dimana pemimpin berdiri di atas semua golongan, menghapus semua dendam walau itu pasti berat untuk dilakukan.

Prof, keindahan sepakbola terletak pada sepakbola itu sendiri. Bukankah anda pernah menjadi seorang pemain, berapa gol yang anda sarangkan, berapa kemanangan yang anda daptkan. Gali kembali memori saat anda berlari dan menendang bola dilapangan, rasakan kembali momen saat saling berpelukan dengan teman saat merayakan sebuah keberhasilan. Berapa deras keringat yang tercurah dan seberapa perih rasa sakit saat bertanding dan berlatih. Kini mungkin anda sudah bergelut dengan sederet tabel, data, profil dan statistik serta naskah-naskah perhitungan diatas kertas. Tapi kami yakin anda masih punya “rasa” sebagai pemain sepakbola.  Maka dari itu kami berharap sebagai pemimpin berdirilah di atas semua golongan, sebagai olahragawan junjung tinggi fair play dimana yang terbaik yang berhak tampil. serta mari kita junjung sportifitas, singkirkan rasisme dalam sepakbola tidak hanya tentang warna kulit tapi juga warna kaos tim.

Prof, kembalikan tim nasional kami, jangan renggut harapan kami.  anggaplah ini suara seorang seporter dengan kaos merah di tribune yang tak pernah lelah mendukung dan menanti Garuda untuk terbang lebih tinggi. Kami masih berharap melihat U21 berhasil memegang trofi di akhir laga.
Read More...

Sabtu, 18 Februari 2012

Orang Islam Kampungan

Leave a Comment

sejak pertama kali menginjakan kaki di jogja ada banyak hal yang membuat saya terkaget-kaget, ntah sindrom apa ini namanya, tapi yang pasti banyak hal di joja yeng membuat saya mengerutkan dahi. diantaranya, mengapa untuk bermain bola saja saya harus menyewa lapangan kecil dengan waktu yang dibatasi, padahal di kampung, main bola dilapangan desa sampai pekarangan rumah seharian tidak pernah dapat masalah. atua kenapa ketika masuk ruangan saya begitu kedinginan dan ketika keluar kemudian kepanasan. dan semua “keanehan” ini juga terjadi dalam kehidupan beragama.

dalam kehidupan beragama ternyata saya harus sadar, bahwa saya sedang dibenturkan dalam aneka keilmuan yang tak pernah saya pelajari. saya merasa menjadi “amatir agama” ditengah diskusi keilmuan dan berbagai istilah yang sangat kompleks. semakin lama saya hampir tidak mengerti bagaimana islam memiliki pakaian kebesaran. tentu saja dalam hal ini adalah Islam.

entah kenapa di jogja, masjid terasa begitu sepi. hanya ada suara adzan dan iqomah. selain itu tidak ada suara lagi. orang sholat berjamaah terus pulang. saya mencoba untuk faham bahwa orang-orang kota cendrung sibuk dan tidak sempat duduk lama untuk ber-wirid. atau bersholawat mengisi waktu menuju sholat. banyak hal dalam masjid yang jauh dari kehidupan kampung, tidak ada lagi cengkrama sosial dan diskusi kecil di masjid. masjid terasa amat sangat sepi.

begitu juga dengan imam saat sholat, imam di kota sering menggunakan suat-surat panjang dengan ayat-ayat yang panjang pula. beda dengan orang kampung seperti saya, yang bisanya hanya surat-surat pendek. langganannya ya surat-surat pendek, macam An-nas, At-takasur, Al-ikhlas, lebih jelasnya, saya lebih suka surat-surat di juz ama. bukan hanya karena pendek dan mudah di ingat, tapi juga karena maknanya lebih muah di fahami, seperti surat Al-ikhlas, yang berbicaa tentang ke-esa-an Tuhan. atau Al-kafirun yang bebicara dengan jelas bagaimana menyikapi sebuah pebedaan dalam beragama. saya yang amatir dan orang kampung hanya belajar ngaji di surau ini kalah jauh dari “muslim kota” atau penyeru jihad, yang lebih suka ayat-ayat panjang guna memantapkan legitimai “alim” yang tahu benar sudut-sudut kitab suci.

jujur ketika saya belajar mengaji di surau kampung saya tidak pernah menemukan kata-kata seperti liberal atau pluralisme hingga khilafah atau berbagai macam dagangan agama yang diperdebatkan oleh mereka yang berintelektual dalam agama. belum lagi jual beli fatwa oleh mereka yang mengaku ulama yag tergabung dalam sebuah majelis.

dan saya sadar satu hal, bahwa jadi orang kampungan termasuk dalam beragama itu ternyata membawa ketenangan, tidak pusing dengan problema dan perdebatan berkepanjangan tentang istilah-istilah yang -mungkin saja- tidak mereka ketahui maknanya. menjadi orang islam kampungan sangatlah membahagiakan. kalau ada yang meledek atau mendebat ibadah saya, saya tinggal bilang, “saya kan orang islam kampungan.”

—————————————-
tulisan ini hanya sedikit keterkejutan saya dengan kehidupan kota jogja, dan tidak sama sekali bermaksud mendeskriditkan atau mengkotak-kotakan kota atau desa.
Read More...

Senin, 13 Februari 2012

Jembatan Kelabu

Leave a Comment

jembatan kulalui malam ini sangatlah rapuh
diantara dua prasangka yang selalu mengeluh
terbayang indah masa silam yang akan kutempuh
kini hanya bisa membuat kisah hiudp semakin gaduh

meninggalkan setiap lorong dalam langkah tak pasti
dengan hasrat menjadi lebih baik di masa nanti
hidup hanyalah sebuah proses menjadi mati
tapi setidaknya bisa berarti walau hanya satu kali

dibawah kolong langit yang kelabu
saat awan hitam menutup angkasa biru
menanti berharap munculnya bintang
ditengah tumpukan masalah yang terus datang

rintik hujan perlahan mengalirkan asa
menghilangkan kehangatan yang tersisa
biarlah kini aku hidup tanpa rasa
berharap harapan itu segera tercipta
Read More...

Selasa, 07 Februari 2012

tangis yang pecah di kala sunyi

4 comments

kakek (peci putih) dan nenek (jilbab coklat) dengan beberapa cucu-cucu kecilnya

fajar shidiq belum terbit tapi itu adalah kala detik-detik akhir dimana malam akan tergelincir, lirih terdengar suara telpon berdering diantara kantuk yang merayap mata. ibu, samar terlihat nama didinding layar. terisak, itulah suara ibu yang terdengar dari ujung telpon, nada yang terdengar paru saat mengabarkan bahwa kakek meninggal dunia. keget, haru, antara percaya dan tidak, bercampur aduk. ini waktu malam menjelang subuh, sunyi sekali seoalh suara ibu yang lirih terdengar menggema dan di seluruh kamar dan berdengung di setiap sudut kepala. kabar duku yang datang tiba-tiba

jam 1 malam saya sempat mengirim sms pada ibu, bahwa sayang mau pulang. entah kenapa memang kondisi akhir-akhir ini banyak menimbulkan hal-hal yang kurang enak dan serasa tidak nyaman. dimulai sejak mimpi gigi graham lepas 2 minggu lalu, yang menurut orang-orang berarti akan kehilangan seseorang yang dekat dengan kita. disusul berturut kunci motor dan kran air yang patah tanpa sebab, gelas yang pecah atau hingga foto keluarga yang terjatuh. saat foto keluarga terjatuh dan saya katakan ada firasat buruk, seorang kawan berujar "masih percaya hal2 kaya gitu shim?" akhirnya percaya tidak percaya, firasat memang selalu hadir di hulu tapi terkadang kita menyadarinya di hilir. saya juga sempat pamit tanpa alasan pada teman-teman untuk tidak hadir pada sebuah acara yang-mungkin-penting, tanpa alasan yang tak bisa saya uraikan. saya seperti yakin bahwa saya tidak hadir dalam beberapa situasi yang sudah direncanakan di jogja, tanpa tahu alasannya.

beberapa waktu lalu saat berkumpul dengan beberapa kawan untuk sekedar membicarakan kegiatan. saya memilih berdiam sendiri untuk membaca salah satu karya leo tolstoy. cerpen berjudul "kebahagiaan keluarga" yang sangat panjang bercerita tentang kehidupan seorang anak dan juga keluarga setelah sang ayah meninggal, cerpen tersebut menggambarkan bagaimana perjuangan seorang anak setelah ayah mereka meninggal. tak lama setelah menyelesaikan cerita tersebut, kematian menjadi barang candaan penuh tawa di lesehan. tak panjang tapi cukup untuk berkelakar. tapi kini saya sadari kematian tidaklah lucu dan pantas untuk ditertawakan saat kita benar-benar pada situasi kehilangan.

mendengar suara ibu yang terisak di ujung telpon nun jauh terpisah dalam bentang jarak ratusan kilometer seperti membawa terbang memori ke masa lampau. kakek buat saya adalah seorang teman, ayah, juga guru. beliaulah yang mematri sendi-sendi agama, mengajarkan bagaimana membaca Al Quran hingga sholat, diskusi dari hukum waris hingga zakat bahkan berbagi tentang aqidah dan tauhid. maka saat saya meninggalkan sholat atau lupa mengaji, sekarang terasa tak hanya menyepelekan diri sebagai seorang hamba Tuhan tapi juga seperti mengkhianati kakek. tapi buat ibu kakek jauh lebih dari itu, tahun-tahun terakhir kakek sakit ibu selalu ada disamping beliau.

tahun-tahun terakhir ini saat kondisi kakek menurun ibu hampir tak lepas dari samping kakek. ibu selalu ijin dari kantor saat kakek keluar-masuk rumah sakit, ibu menempatkan ayahnya di podium utama di banding karir dan pekerjaan. terkadang ibu harus bolak-balik kerumah kakek di desa saat kondisis kakek memburuk, dan kami selalu mengerti bahkan bapak sangat faham akan hal itu. kondisi sakit kakek tak hanya membuat tubuhnya terlihat lebih ringkih dan kuruh tapi ingatannya mulai kabur, terkadang sangat sensitif mudah menangis dan tersinggung. benar kata orang saat tubuh menua terkadang seperti kembali ke masa anak-anak.

ibu merubah dirinya menjadi kaki dan tangan kakek, menjadi tangannya saat menyuapkan makanan, menjadi tangannya untuk menggaruk saat gatal datang menyapa, bahkan ibu menjadi tangan kakek ketika kakek harus membersihkan badan. ibu menjadi kakinya untuk berjalan dan melangkah, saat kakek bosan duduk dan berbaring, bahkan hingga akhir hayatnya kini tak sekalipun kakek menggunakan tongkat untuk membatunya berjalan, selalu ada anak-anak hingga cucunya yang memapah beliau.

Seperti dulu ketika masih kecil, beliau mengajari bagaimana menggerakkan tangan dan berjalan, tahun-tahun terakhir ini sepertinya kini giliran ibu mengajari beliau hal yang sama. Jika dulu anak kecil yang manja minta diselimuti menjelang tidur, kini giliran menyelimuti beliau. Dulu beliau mengurus keseharian dengan tabah dan ikhlas, kali ini mesti melakukan hal yang sama: memapahnya ke kamar mandi, melayaninya jika ingin makan, minum obat dan bersedia melakukan banyak hal lain untuknya. Jika dulu ia terjaga semalaman menjaga anaknya, kali ini  juga mesti melakukannya, kalau-kalau beliau butuh sesuatu atau minta diantar ke kamar mandi.

kini ibu tak bisa melakukan itu lagi pada kakek, suatu saat nanti saya harap bisa merawat kedua orang tua saya ketika sakit, mungkin tak sebaik saat ibu merawat saya di waktu kecil atau kakek di masa tua-nya. terbayang perjuangan, tulus doa dan cinta kasih yang tek pernah letih. saya tak melihat lagi penyesalan, duka mendalam dan keterkejutan, yang hadir kini harapan serta doa serta keikhlasan.

perlu waktu yang tak sedikit untuk menyadari bahwa batas antara mati dan hidup beitu tipis, begitu sederhana namun sangat sulit unutk dicerna. sangat aneh rasanya merasakan situasi yang berbeda, orang-orang yang biasanya ada dan berbincang bersama kemudian pergi untuk selamanya, sebuah perpisahan yang terkadang tak pernah dirasakan pertandanya dan tanpa ucapan kata-kata.batas antara mati dan hidup hanyalah sedetakan jantung saja namun begitu rumit untuk difahami. Andai saja kita semua punya cukup waktu dalam hidup untuk memahami kematian.

tak perlu menggambarkan tentang tetesan darah korban dan penderitaan perang untuk menumpahkan kesedihanku. Tak perlu juga bercerita tentang bencana yang menelan ribuan korban jiwa untuk membuatku menangis. tak perlu mengabarkan tentang berjuta luka kemiskinan, penindasan serta ketidakadilan untuk memaksa aku mengeluarkan air mata. Cukup, cukup saja kau paksa aku diam lebih lama di hadapan seorang kakek tua yang terbaring terbungkus kafan ini, sungguh tak sedikit pun punya kuasa bagiku bisa menahan air mata ini

siang ini aku pulang sendirian dari jogja, kutatap langit membiru di hiasi awan putih bergumpal, mengingat kembali, canda tawa yang mungkin tak kan kembali tiba, kini aku tersenyum ikhlas melepasnya dengan mata yang berkaca-kaca ... dan terus berdoa supaya Allah memberikan tempat terbaik disisNya.....
Read More...