Minggu, 07 Desember 2008

Qurban Di Kotaku dan Di Kampungku

26 comments
Beberapa hari terakhir ini ketika saya mau ataupun pulang dari kampus, banyak sepanduk dan selebaran bertuliskan tentang qurban terpampang di jalan-jalan di jogja terutama di wilayah pemukiman dekat kost-kostan saya. Bukan ucapan selamat Idul Ad'ha yang tertulis pada sepanduk tersebut, tapi sepanduk dari penyedia jasa qurban. Isi sepanduk dan selebaran itu beragam, intinya berisi tentang promosi hewan yang dibuat semenarik mungkin -iklannya tidak kalah menarik di banding promosi caleg-. Tapi yang membuat saya heran dan tidak ada di kampung saya adalah adanya beberapa sepanduk yang tidak hanya menawarkan hewan qurban, tapi pihak penyedia jasa hewan qurban bersedia mengambil uang langsung dari konsumen. mudahnya begini, konsumen tinggal SMS alamat rumahnya, terus sang penyedia hewan kurban siap datang ke rumah konsumen untuk negosiasi. Setelah negosiasi selesai maka orang yang mau berkurban tinggal menyerahkan uang saja, urusan beres. sehingga orang yang akan berkurban tidak tahu atau bahkan mungkin tidak perlu tahu seperti apa hewan kurbannya. Begitu mudahnya urusan Qurban di kota.

Bandingkan dengan di kampung saya,
Di kampung saya tidak ada sistem seperti itu (mungkin karena tidak ada signal tel. seluler), orang yang akan berkurban biasanya membeli hewan kurban untuk Idul Ad'ha dari tetangga yang memiliki mungkin kalau kurang cocok biasanya tetangga saya akan mencari hewan ke pasar di kota. pembeli pun bisa leluasa memilih hewan sesuai dengan keinginannya bukan jual beli buta, tanpa barang. Ketika pagi hari Takbir berkumandang menandakan di akan dimulainya sholat Idul Ad'ha orang yang akan berkurban bersama keluarganya berangka kemasjid dengan membawa hewan qurban masing-masing. Tidak ada rasa malu, bahkan mereka bangga.

Setali tiga uang dengan mudahnya membeli hewan qurban, pembagian hewan kurban juga tidak terlalu memakan banyak waktu, setelah hewan di sembelih dan di potong tak berapa lama para kaum duafa yang harusnya menerima daging qurban, malahan mengambil. Konotasi menerima dan mengambil jelaslah berbeda. Orang mengambil adalah "datang ke-", sedangkan menerima tetap beriam di tempat menunggu ada yang mengantarkan. kalau tidak percaya liat saja di Masjid Istiqlal, orang sampai harus "bertarung" hanya demi seonggok daging, tengok pula beberapa masjid di Jogja, kaum duafalah yang harus berebut.

Ini sungguh bertolak belakang dengan sistem pemabagian hewan qurban di tempat saya, di kampung saya hewan qurban setelah di potong akan dibagikan kerumah-rumah warga oleh panitia sukarela (panitia yg penting pulang dapet kepala atau ceker), yang bertugas membagikan dengan berputar-putar kampung adalah para remaja. Biasanya setelah semuanya beres (menjelang dzuhur jg dah slese), para ukarelawan akan makan bersama dengan segala macam isi perut hewan qurban (usus dkk) yang telah di masak oleh para ibu-ibu. setelah dzuhur mereka mulai membereskan dan membersihkan tempat yang tadi digunakan.

Sebenarnya kehidupan didesa sangat menyenangkan, apalagi ketika akan bahkan pada saat ada acara besar, baik itu hari raya agama atau hari kemerdekaan, suasana desa saya selalu semarak bukan hanya pada saat kegiatan tapi juga pra kegiatan karena warga bergotong royong secara sukarela. Hal yang tak pernah saya lihat ketika saya menjadi siswa SMA di PWT dan apalagi ketika "jabatan" saya sudah meningkat menjadi mahasiswa di Jogja.

apakah benar, hidup di kota itu sulit, saya pikir mungkin terlalu mudah....
tapi kemudahan itu bagi saya tak memiliki makna.........
atau boleh saya bilang kemudahan yang hampa.......
Read More...