Kamis, 12 Juni 2014

Ironi Raeni

6 comments
hampir semua portal berita daring sedang hangat memberitakan tentang kisah seorang mahasiswa universitas negeri semarang (UNNES) yang menjadi wisudawati terbaik dengan IPK 3,96, Raeni namanya. sebuah foto yang terpasang di media-media daring tersebut menggambarkan bagaimana Mugiyono sang ayah mendorong becak yang dinaiki Raeni dengan berbalut jilbab. di jagat maya Raeni kemudian dianggap sosok inspiratif, seorang anak dari keluarga tidak mampu dapat berprestasi dan menjadi lulusan terbaik. pemerintah dengan bangga hati kemudian menunjukan tentang kesuksesannya bahwa beasiswa bidikmisi yang dikucurkan menghasilkan sesuatu yang dapat dipamerkan pada khlayak. namun sesungguhnya ketika puja-puji mengalir pada sesosok Raeni negeri ini menyimpan sebuah ironi. ironi bagaimana sesungguhnya pendidikan selalu berpihak pada si kaya.

sebuah kredo yang banyak terdengar "jika anda miskin anda dilarang bodoh, anda harus pintar supaya dapat beasiswa, kalau anda kaya boleh bodoh karena punya uang untuk sekolah". anggapan tersebut bisa saja benar, bahkan mungkin sangat benar. orang-orang seperti keluarga Mugiyono sangat banyak di indonesia, Mugiyono sang tukang becak adalah gambaran lebih dari separuh warga negeri ini yang menghidupi keluarga dari alur nonformal. separuh lebih warga negeri ini berada dalam lingkup keluarga seperti Mugiyono yang begitu mengkhawatirkan biaya pendidikan terus meninggi. tapi berapa persen dari keluarga seperti Mugiyono yang memiliki anak seperti Raeni. jika dalam sebuah diagram ven Mugiyono dan raeni adalah sebuah lingkaran tersendiri, ada berapa luas arsiran saat lingkaran Mugiyono dan lingkaran raeni saling berkaitan.

raeni dan mugiyono (Humas Unnes/Lintang Hakim)
gambaran tentang raeni kemudian menjadi fakta bahwa anda harus pintar dulu kalau mau kuliah. anda harus menjadi raeni terlebih dahulu, harus menjadi pintar dulu kemudian pemerintah akan memberi beasiswa. namun yang kemudian harus dipikirkan tentang generasi indonesia adalah ribuan anak yang mungkin tak memiliki kecerdasan seperti Raeni. bagaimana mereka, anak-anak dari keluarga kurang mampu anak-anak dari lingkup seperti kehidupan Mugiyono tapi memiliki prestasi akademik yang biasa saja atau tidak istimewa.

apakah ada ruang dan kesempatan yang sama, jawabannya jelas tidak. Raeni mengingatkan saya pada kisah orang jujur yang kemudian dibesar-besrkan media. lalu di suatu titik kita menjadi sadar bahwa kejujuran kemudian menjadi barang langka lalu kejujuran seolah dianggap keajaiban sosial. di suatu sisi Raeni adalah sebuah kebanggan sosok inspiratif yang mampu berprestasi dalam situasi penuh keterbatasan. tapi di sisi lain, keberhasilan raeni seolah  menggambarkan betapa mahalnya pendidikan di indonesia sehingga saat "si miskin" berhasil dan sukses maka dianggap sebuah keajaiban luar biasa.

disadari atau tidak, lembaga pendidikan adalah sebuah lembaga bisnis. pertanyaannya kemudian sampai kapan, pendidikan akan terus melambung. bukankah sudah jelas tertulis di prembeule UUD 1945 alenia 4 bahwa cita-cita kemerdekaan dan alasan kenapa pemerintah indonesia dibentuk adalah -salah satunya- untuk "menciptakan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa". yang harus direndungkan sekarang adalah apakah kita benar-benar dekat dengan cita-cita kemerdekaan atau justru semakin menjauh.
Read More...

Jumat, 03 Januari 2014

rupa citra dimata media

3 comments
gubernur jakarta yang selalu membuat tercengang rakyatnya kembali membuat gebrakan baru. kali ini peraturan ringan kalau PNS dan sederet pejabatnya di berbagai tingkat diperintahkan untuk memakai sepeda setiap jumat pertama di awal bulan. hari ini, sang gubernur mengawali pagi dengan gowes dari rumahnya ke balaikota berbalut baju persija bertuliskan DKI 1. sederet wartawan membututinya, ini berita buat mereka. dan berita yang sama jilid kedua akan muncul bulan depan, di hari jumat di minggu pertama. peraturan yang mungkin memancing warga jakarta untuk meninggalkan kendaraan mesin mereka. namun dihari pertamanya, justru program ini dinodai oleh wakil gubernur sendiri, ah memang ada-ada saja jakarta. 

gambar : ajinatha blogspot com
bersepeda ke tempat kerja tidaklah diawali oleh jokowi, komunitas bike to work  sudah memulainya sejak lama. bahkan di jogja secara institusi pemerintahan sang walikota periode lalu sudah mengawalinya. project yang dimulai tahun 2008 oleh walikota saat itu hery zudianto masih terus berjalan hingga kini. gerakan "Sego Segawe" atau "sepeda kanggo sekolah lan nyambut gawe" (sepeda untuk sekolah dan bekerja) kini masih dijalankan oleh masyarakat jogja. 

bukan soal gerakan bersepeda yang ingin saya soroti, tapi bagaimana media membingkainya dalam berita, catat juga ini bukan analisis framing. saya hanya coba menfsirnya saja. apa yang dilakukan oleh hary zudianto dan jokowi sama saja dlam kapasitasnya sebagai pimpinan di sebuah wilayah administrasi. lalu kenapa jokowi lebih bisa menjadi berita nasional, dan kenapa hary tidak?.  jawabannya bukan soal jakarta atau jogja, tapi sosok jokowo yang di bungkus sebagai sosok masa depan penuh gebrakan. 

jokowi hadir sesungguhnya adalah berdasar pada sosok perlawanan akan foke pada awalnya. media yang diisi oleh para kaum muda, generasi jakarta yang bosan dengan ke-kolot-an masa lampau serta menginginkan ada sosok baru memimpin ibukota mulai menetapkan pilihan. dan jokowi adalah tokohnya. jokowi yang di make up oleh media sebagai sosok sempurna pengganti foke jelas semacam aliran bola salju yang terus berputar. semakin membesar. 

kemenangan jokowi di pilkada DKI bukanlah semata-mata kemenangan PDI P, tapi juga kemenangan media. hal yang dikemudian hari justru disesali oleh para pemilik media tersebut. jokowi sebenarnya adalah orang biasa, soal kemampuan negosiasinya yang berhasil memindahkan PKL dari jalanan ke pasar masih saya anggap biasa. jika anda pedagang ilegal kemudian dipindahkan ke tempat legal yang baru, secara pribadi tentu setuju, tinggal bagaimana membuat pindah dengan sukarela. bandingkan proses "penggusuran" yang dilakukan oleh walikota jogja yang memindahkan pedagang hewan dari pasar ngasem di pusat kota ke pasar "PASTY" yang jauh dari keramaian.

mari kita tarik lebih kebelakang bagaimana soekarno dibunuh oleh media yang dikuasai soeharto. lalu bagaimna stabilnya dan "maharaja"nya soeharta ketika media dikuasai. perhatikan saat SBY sang sosok terdzalimi menjadi kesayangan media, karena "media" menggap megawati tukang grosir BUMN. siapa tak kenal soekarno, proklamator, presiden, panglima tertinggi, pencetus pancasila, bisa disingkirkan dan dianggap ternodai PKI serta keberadaannya mengancam ideologi pancasila.

jokowi dalam teori agenda setting bisa saja dianggap sebagai "boneka" media. didandani sedemikian rupa dan setelah mencapai klimax dan membosankan bisa saja disingkirkan. SBY adalah sosok nyata, ingat bagaimana SBY dipuja media dimasa lampau dengan segala pencapaian ekonominya, perdamaian aceh, dan lain sebagainya. kini SBY tak lebih bulan-bulanan media hingga foto istri serta anaknya tak lepas dari sorotan. saatjokowi sudah besar, maka media membutuhkan sosok perlawanan, dan tak akan lama lagi sosok itu segera muncul, mungkin bukan tahun ini atau tahun depan, tapi sosok baru selalu ada.

jika dulu rupa jokowi dicitrakan sebagai sosok perlawanan oleh media, maka kini sosok jokowi justru digunakan untuk mendulang penghasilan oleh media. soekarno mungkin "sial" hidup dimasa media bisa dikontrol pemerintah, tapi jokowi hidup dibanyak media, bisa saja berbagai televisi dan surat kabar yang dikuasai para politisi tak lagi menyanjungnya. tapi media sosial dalam era digital kini akan jadi penentu, sampai kapan sosoknya akan bertahan selalu baik. kita lihat saja bberapa waktu kedepan
Read More...