Senin, 14 Mei 2012

Manusia Kalah di Ujung Jalan

Leave a Comment

sore yang cerah menangkap sebuah wajah yang gelisah dari ujung jalan yang basah. hatinya sendu dalam debur angin yang menerbangkan debu, menatap langit yang sudah tak lagi biru. matahari mulai bergerak untuk tertidur di ufuk barat setelah seharian bergerak dari timur. manusia kalah berjalan gontai menyusuri rindang pohon yang bergerak santai. wajahnya tertunduk seolah beban begitu berat di punduk. dengan topi bulat gaya koboi yang sudah lapuk dan tak lagi pantas melindungi kepalanya dari sengat sinar mentari yang tak terperi.

adakah manusia menangkap kisah dibalik resah dan gelisah sodaranya yang diam tanpa tanya. manusia bertopi tadi duduk di sebuah lingakarn kecil dalam keramaian mahasiswa muda yang tertawa riang penuh canda bahagia menanti berbuka. adzan maghrib belum kunjung tiba, dan manusia yang dari tadi berjalan tertunduk pun akhirnya duduk di bangku besi beton yang sudah tak terbentuk. matanya terpejam seperti terkantuk, dan kepalanya masih saja tertunduk.

tak lama manusia kalah membuka topinya menatap keramaian jalan yang penuh mahasiswa muda. mencoba menerka tentang situasi yang ada. tapi tatapannya tetap kosong, seperti tak menangkap sebuah kisah maupaun makna yang tersimpan dari semua peristiwa yang sedang disaksikannya. mulutnya masih terkunci bak menyimpan sebuah rasa benci yang terpenjara dihati. manusia yang berjalan gontai tak mampu lagi berdiri apalagi berlari mengejar mimpi.

tangannya dialetakan diperut dan matanya mentap mentari yang tak terus berlari mengejar rembulan, menanti lembayung senja datang. telinganya terpasang sempurna menanti angin membawa adzan maghrib tiba ditelinga. dan tangannya mulai bergerak kesaku sebelah kanan, tak lama menariknya kembali, namun kosong, tangan kirinya melakukan hal yang sama di kantong kiri hasilnya sama saja kosong. tak menyerah tangannya bergriliya ke saku baju, sama saja kosong. keputusan dan harapan terakhir tersisa di dompetnya yang mulai menipis, perlahan dia buka, dan hasilnya penuh tumpukan kertas namun tak selembar uangpun dia peroleh.

manusia malang, menanti berbuka ditanah lapang hingga di kolong jalan layang, namun hasilnya tetap menjadi jalang. kini dia berdri menyususri mimpi. tak berharap para muda-mudi memberinya sebutir nasi untuk mengganjal perut yang sudah mulai keriput. biar mereka bahagia dengan makanan yang dinikmatinya. hidup dijalanan memang penuh perjuangan ujar manusia malang. belum lama berlari penuh semangat, raganya berontak tak mau bergerak, akhirnya dia terkapar di ujung jalan dengan rasa lapar.

tak ada yang peduli, manusia lain mengira sodaranya sedang tertidur pulas di jalan tanpa tikar, manusia lain masih saja makan dengan penuh kelakar padahal manusia bertopi koboi sedang terkapar karena lapar. adzan telah berkumandang, segala jenis makanan dan minuman telah terhidang semua bersuka cita ditengah keriuhan masa.  manusia yang tadi berjana gontai bergelimang duka melihat sodaranya menikmati makanan penuh bahagia.

manusia malang masih saja terkapar di ujung jalan, memegang perutnya yang kelaparan, dan segerombolan manusia makan dan minum dengan tenang sambil memegang perutnya yang kekenyangan. manusia malang menangis dalam keadaan terkapar, melihat di ujung senja saat isya telah tiba, sisa makanan masih terlihat banyak, nasi yang terbuang, minuman yang tercecar. seolah sebuah penghinaan terhadap rasa lapar dan kemanusiaan.

manusia di ujung jalan bertopi koboi tidak rela. di menerima dengan ikhlas diabaikan dengan laparnya namun manusia malang tidak terima melihat sodaranya yang bisa makan dengan lahap justru membuangnya sia-sia. manusia malang menangis semakin sendu, ditengah riuh rendah suara tawa mahasiswa yang merdu.

malam semakin larut, dan manusia malang di ujung jalan masih terkapar dengan gelimang air mata tanpa mampu dia minum kembali, manusia bertopi koboi yang tadi berjalan gontai dan tertunduk berbuka dengan mengeluarkan air jernih dari matanya bukan meminum air dari mulutnya. awan bergerak menutup cahaya rembulan, seperti izrail menutup matanya dengan pelan.
Read More...