Senin, 30 April 2012

Pagar Alam, Negeri di Atas Awan

3 comments
pagar alam, negeri di atas awan (sumber foto :  reno386.wordpress.com   )
Apa yang terlintas dipikiran anda saat mendengar negeri diawan, kla project tentu benar. Salah satu lagu sakral yang tak pernah bosan saya dengarkan dan juga saya dendangkan. Beberapa orang seperti saya misalnya harus mendaki gunung untuk merasakan apa rasanya berdiri diatas tanah yang dikelilingi awan. Namun mendaki gunung untuk merasakan “dunia lain” hanya menyajikan sensasi sesaat, tapi di sumatra selatan ada suatu daerah yang luar biasa bernama pagar alam. Daerah pegunungan sejuk yang hijau dengan dikelilingi perkebunan teh dan segala tanaman agroindustri, udara bersih yang setiap pagi berselimut embun dan yang sangat mekjubkan di pagar alam kita akan benar-benar merasakan berada di negeri (tanah/daerah) yang dikelilingi awan..

Sebelum menikmati pesona luar biasa pagar alam yang penuh romantisme sebaiknya kita mengunjungi perbukitan Raje Mandare bukan untuk melakukan pendakian tapi untuk menikmati salah satu keajaiban alam yang mungkin salah satu paling luar biasa di indonesi dan mungkin bahkan di dunia yaitu Danau Merah. Danau ini menjadi unik memang karena danau ini terlihat berwarna merah jika dilihat dari permukaan namun saat airnya diambil terlihat jernih. Kebanyakan danau bahkan mungkin semuanya berwarna jernih jikapun berbeda itu akan lebih semu kehijauan atau semu kebiruan akibat pengaruh gangang, lumut hingga pantulan langit. Namun danau merah punya keunikan tersendiri, danau berwarna merah darah ini masih diprediksi akibat ganggang, namun warna merah pekat tersebut masih belum bisa dijelaskan secara utuh karena minimnya peneliti. Jalur yang susah dan menantang untuk masuk wilayah ini memang tantang tersendiri, namun tak ada salahnya merasakan sensasi mistis dan keajaiban dari perbukitan Raje Mandare. Mari hentikan sejenak bermain tebak-tebakan mistis hingga saintis tentang Danau Merah di perbatasan Sumsel-Bengkulu tersebut, karena hal yang tak boleh dilewatkan dari sumatra selatan khususnya pagar alam adalah sebuah deretan perbukitan yang dikelilingi awan seperti yang sudah saya ceritakan sedikit di muqodimah tadi. Di jawa memang ada Dieng, sebuah wilayah yang juga diselimuti awan dan penuh dengan peninggalan sejarah, namun Pagar Alam jelas berbeda dengan Dieng. Di Pagar Alam kita tak hanya bisa merasakan sensasi mistis dan romantis tapi juga sebuah penelusuran megalitikum di sekitaran Danau Merah yang keduanya masih menyimpan berbagai macam pertanyaan dan beribu alternatif jawaban..

Menuju Pagar Alam kita akan merasakan sensasi perjalanan darat yang mungkin paling menakjubkan yang bisa kita lakukan. Pagar Alam yang berada di kawasan Gunung Dempo yang merupakan Gunung tertinggi di Sumatra Selatan sehingga jalan yang dilalui meliuk-liuk bak ular tangga yang menggapai puncak. kita bisa membawa kendaraan melewati jalan beraspal mulus yang meliuk-liuk di tengah perkebunan teh. Selain singgah di tempat- tempat tertentu di tengah perkebunan, pemakai kendaraan umumnya juga berjalan hingga ujung jalan beraspal di ketinggian 2.000 meter dpl, ujung perkebunan teh yang paling tinggi..

Diperjalanan kita juga bisa berhenti sejenak untuk menikmati air terjun Lematang Indah yang sangat eksotis. merasakan air jernih dari hulu yang belum terjamah limbah, lebih dari cukup untuk sekedar melepas penat dan lelah. Tapi jangan pernah puas, karena Pagar Alam punya lebih dari 30 air terjun yang belum semuanya tereksplorasi dan dikelola dengan baik. Bebrapa diantaranya memang susah dijangkau hingga agak tersendat dalam pengelolaan, tapi buat yang suka tantangan dan petualangan Air terjun-air terjun tersembunyi pasti tak akan dilewatkan..

Jika sudah cukup menikmati segarnya air pegunungan, yang paling luar biasa dari Pagar Alam adalah perkebunan teh-nya. Inilah sebuah Masterpice Tuhan kepada tanah Besemah, bukan tentang panoramanya, tapi lebih dari itu. Yaitu sebuah ekosistem dan kondisi yang membuat kita benar-benar merasa berada di dunia lain yang penuh kedamaian dan ketenangan. Dan itu dimulai saat kita membuka mata di pagi hari..

Jika kita menginap di Pagar Alam hal yang pertama kita rasakan adalah dingin yang menusuk tulang hingga selimut dan jaket akan susah lepas. Namun perlahan cobalah untuk duduk dengan tenang di kursi menghadap ketimur, melihat bentang hijau perkebunan teh yang berpola indah. Merasakan sinar menta yang memantu di dedaunan merah kekuningan dan lembut terasa hangat di kulit. Hamparan kebun teh yang menghadap ke timur itu pun merasakan hangatnya mentari. Embun di permukaan dedaunan perlahan-lahan menetes, seiring dengan semakin tingginya sang surya yang bergerak perlahan. Ditemani teh hangat racikan sederhana dengan aroma khas dompu yang terasa lebih tajam dan sepat sambil menyaksikan para pemetik teh bekerja. Kemudian rasakan hembusan angin, selimut embun serta gemericik air. Kita tak akan menemukan sensasi seluar biasa ini selain di tanah Basame ini. Inilah sensasi eksotisme sumatra selatan yang lebih dahsyat dari jembatan ampera dan sungai mahakam di palembang, dialah Pagar Alam.
Read More...

Dododododo

2 comments
Saya bukanlah penggemar berat musik grunge, bahkan saya tak hafal satupun musik beraliran grunge, dan jelas saya tidak tahu apa-apa mengenai musik grunge. Namun ada satu hal yang mengikat saya dengan aliran musik ini yaitu sebuah sebaris lirik yang terdiri dari dua huruf do do do dodo – dodo do. Semua penggemar grunge di seluruh dunia pasti mengenalnya inilah lirk penutup dari sebuah lagu berjudul “Black” yang dibawakan oleh Pearl Jam. Sebuah lirik “sakral” bagi saya karena membawa saya pada sebuah perjalanan unik yang susah untuk saya lupakan hingga kini. Sejatinya saya hanya ingin berbagi pengalaman tentang dododo do do do.

Saya menjalani masa kecil saya di tahun 1990an di sebuah desa terpencil dimana listrik hanya menyala saat akan berkumadangnya adzan maghrib dan akan padam setelah acara dunia dalam berita berakhir di TVRI itupun listrik yang hidup dari mesin disel. Dengan skema hidup seperti itu adalah luar biasa bagi telinga saya mendengar suara musik, karena satu-satunya musik yang paling sering saya dengan adalah suara hadrah dimana setiap jum’at malam sabtu para remaja latihan dengan menabuh alat musik dari kulit kambing sambil mendendangkan lagu berbahasa arab yang sebenarnya mereka tak pernah tahu artinya. Suatu hari, saya sangat ingat hari itu hari sabtu. Ini bukan lelucon karena saya jelas masih ingat saya memkai pakaian pramuka pulang ke rumah dengan berlari karena hari itu lilik (baca : paman) saya pulang.

Saat sampai rumah itulah suara yang pertama terdengar ada alunan do dododo do do, alunan yang selalu mengingatkan saya pada kampung halaman dan masa kecil saya. Dua huruf yang terangkai itu seperti sebuah tatto permanen yang tergambar di otak hingga kini. Bisa dibilang dari sinilah pertama kali saya tahu petikan gitar hingga tabuhan drum. Saat itu usia saya baru 1 dekade lebih sedikit dan otak saya merekam dengan jelas alunan itu. 1 minggu om saya dirumah saya selalu mendengarkan lagu-lagu berbehasa asing dari sebuah kaset yang diputar pada sebuah tape berbatrai 3 ukuran besar, dan lucunya saya hanya hafal do dododod do dan tak hafal yang lain.

Hingga om saya kembali ke kota saya tidak pernah lagi mendengar alunan musik itu, bahkan hingga saya akhirnya lulus sekolah dasar. Saat SMP saya pindah sekolah di kota, dimana listrik dapat dinikmati 24 jam ddengan potongan “byar-pet” yang tak pernah bisa diprediksi. Hingga masuk milenium baru saya mulai bisa menikmati musik-musik indonesia yang rock hingga melayu tahun-tahun saat indonesia dijejali lagu-lagu malaysia. Saat itulah saya masih penasaran dengan alunan dododod dodod, yang sering saya senandungkan saat sedang bengong itu.

Masa-masa itu pula saya mengenal nirvana lewat poster-poster hingga kaos dan jamper yang banyak bertebaran di lorong-lorong pasar. Namun saya sama sekali tidak pernah mendengar musiknya, atau mungkin saya mendengarnya tapi tidak tahu kalau itu nirvana. Hingga pada suatu hari saya agak lupa kapan, tapi saat itu angkot yang saya tumpangi tidak masuk pasar seperti biasa. Akhirnya saya harus berjalan hingga pasar supaya bisa naik angkutan lain. dalam perjalanan itulah dari sebuah lapak kecil yang hanya terdiri dari sebuah meja saya mendengar kembali alunan persisi seperti yang saya dengar kala kecil, senandung yang sering saya lantunkan saat bengong dodododdo dodo do.

Dan tanpa pikir panjang saya langsung menghampiri penjual kaset bajakan dan membelinya seharga Rp5000 dengan cover aneh bertulis “Pearl Jam” dan tulisan “Kencana Record” tertulis di dinding kaset diantara dua lingkaran. Hingga saya berfikir ini adalah grup band asal indonesia karena saya tulisan “kencana record”. Sampai rumah saya segera memutar kaset tersebut, namun yang membuat saya merasa seperti orang bodoh sekarang, saat itu saya memutar keset hanya untuk mendengar dododdodo setengah jam telinga saya di dekat tape membuat saya hampir frustasi dan berniat akan mengembalikan kaset ke sang penjual bajakan hingga akhirnya alunan sakral itu muncul.

Butuh 1 tahun kemudian untuk tahu bahwa senandung dodododo itu adalah bagian dari lirik lagu berjudul Black dari Pearl Jam yang merupakan band dari amerika, itu juga dikasih tahu teman SMP yang tahu tentang musik. Itu karena di kaset bajakan tidak terdapat lirik lagu hanya seembar cover berwarna hitam biru dengan tulisan Pearl Jam.

Kini saat saya sudah menjadi mahaiswa, saya mulai mengerti lirik lagu “Black”, saya mulai mengerti bahwa lagu ini tidak hanya sakral karena kata dodododod yang selalu mengingatkan saya akan masa kecil saya namun juga penuh pesan yang dalam, setidaknya buat saya. Seperti lirik awal “Black” Sheets of empty canvas, untouched sheets of clay, seperti itulah yang saya raskaan saya mendengar lagu ini, yaitu kembali ke masa kecil saat masih menjadi kanvas kosong. Kembali ke masa anak-anak di desa dimana bisa tertawa lepas tanpa beban I take a walk outside, I'm surrounded by some kids at play, I can feel their laughter, so why do I sear?, hal yang mungkin akan sudah dirasakan di kota dimana kita tak lagi bisa menemukan anak-anak yang bermain dan tertawa diluar. “Black” adalah satu-satunya lagu dari Pearl Jam atau bahkan dari aliran Grunge yang saya tahu dan begitu mempunyai sejarah sendiri dalam hidup saya.
Read More...

Selasa, 24 April 2012

Twitter Membuat Wartawan Seperti Penipu

1 comment

tulisan ini tidak akan panjang, hanya sedikit dari kegelisahan saya bagaimana wartawan membuat judul tulisan yang membuatnya menjadi seperti “tukang fitnah” ditegaskan dalam tanda kutip. permasalahannya bukan tentang tulisan yang ditulis tapi soal pemilihan judul hingga menimbulkan salah presepsi memahami konteks.

verastic.com | ilustrasi
contoh judul ini yang diterbitkan tempo “kim khadarsian pake anting KW” dan di twiit, orang jelas akan berfikir dan meng-RT bahwa kim pake anting palsu jadi kemudian muncul komentar “RT-twit” wah artis pake anting palsu. padahal kim memakai anting yang terukir huruf K dan W yang tak lain adalah inisial dari kekasihnya.

atau judul dari detik yang di twit “mentri main golf bersama jhon key”  apa yang ada dibenak anda membaca judul ini? wow ada bos ngester main golf bersama mentri. maka RT kecaman bertaburan di twitter tapi setelah dibaca penonton kecewa, karena jhon key yang dimaksud adalah perdana mentri selandia baru. sayangnya caci maki sudah muncul di-twitter.

tentu saja ada juga judul-judul nyeleneh di kompas yang bisa menimbulkan salah tafsir. 
masalahnya begini, itu terjadi hampir di semua portal berita online yang me-twit berita yang mereka sajikan. judul tidak mencerminkan isi tulisan secara jelas hingga pembaca menjadikannya salah tafsir. dan kadang sudah mencaci-maki walau tak sesuai konteks. kedua judul di atas hanyalah 2 contoh yang kebetulan saya liat dan saya ingat. jadi wahai wartawan bikinlah judul yang jujur, karena twitter berfungsi bagaimana 140 karakter berisi padat namun jelas. jangan bikin judul multi-tafsir hingga membuat orang “terlanjur” bikin dosa karena judul prematur dan multi-tafsir
Read More...

Sabtu, 21 April 2012

Kompasiana Memang Tempat Para Amatir

1 comment

Hari ini saya membaca sebuah kirimian link dari teman sesama kompasianer. i itu mengarah pada tulisan wari darmadi seorang kompasianer asal purwokerto, orang yang dulu -katanya- OB dan sekarang sudah jadi wartawan setelah si bos melihat tulisannya di kompasiana. tapi saya tak peduli dan tidak terlalu tertarik dengan tulisan yang dia buat, apalagi setalh dia menyatakan mudur dahulu kala lalu balik lagi setelah tulisannnya di plagiat kompasianer sesama purwokerto. oke stop membicarakan orang yang pernah perang opini dengan faizal assegaf tersebut. saya justru tertarik dengan komentar dari om admin senior, alias om isjet oke kesannya tua ya, saya tulis mas isjet.
coba cermati apa komentar beliau,
“untuk saat ini saya cuma mau bilang: anda salah besar menganggap kompasiana sebagai tempat amatir. karena istilah amatir hanya tersedia di media atau di tempat mainstream (arus utama). kompasiana adalah tempat umum, setiap orang boleh masuk, berbagi dan berinteraksi di sini.”
kalimat itu menarik karena menggap para penulis di kompasaian katanya bukanlah amatir, disini ada kesalahan konklusi dan diasambiguitas soal makna kata amatir. dan yang membuat saya mengertitkan dahi hingga kedua alis saya hampir berciuman. karena kalimat ini keluar dari pegiat jurnalisme warga dan merupakan chif editor portal jurnalisme warga terbesar di indonesia. ada beberapa hal yang menjadi catatan saya.
ilustrasi | zenith-404.blogspot.com

pertama tentang mengajukan sebuah bantahan bahwa kompasaina bukan sebagai tempat “amatir”. kemelesetan berfikir kita adalah bahwa amatir seolah-olah adalah “jelek”, “buruk”, “tidak berkemampuan” hingga “kompetensi rendah” ini selalu disandingkan dengan antonim “profesional” bahwa profesional itu “terdidik”, “berkemampuan”, “hebat” dan ber ISO:1945. padahal amatir dalam makna sebenarnya mengacu pada Kamus Besar Bahasan Indonesia “amatir adalah kegiatan yang dilakukan atas dasar kesenangan dan bukan untuk memperoleh nafkah” intinya amatir adalah orang yang melakukan sesuatu untuk kesenangan bukan untuk uang.

dalam hal ini saya kira orang yang menulis di kompasiana tidak bertujuan untuk mencari uang tapi untuk kesenangan. tapi memang ada yang untuk mencari uang seperti untuk masuk freez atau untuk ikut lomba, tapi itu tetap dilakukan bukan atas dasar penghidupan dan profesi. dan saya masih cukup yakin tetap didasarkan pada kesenangan, dan inilah yang dinamakan amatir. hal ini terjadi dalam dunia tinju atau sepakbola misalnya. itulah kenapa petinju yang masuk olimpiade disebut petinju amatir, itu karena mereka bertinju bukan petinju seperti yang diorbitkan promotor (yang berbasis) untuk meraih gelar dunia misalnya, dan tidak menjadikan bertinju sebagai profesi. begitu juga dalam sepakbola ada kompetisi amatir, itu bukan mereka kualitas buruk tapi memang kompetisinya berbeda dengan kompetisi profesional.

kedua, istilah amatir yang hanya ada di media arus utama, menilik ke atas sebenarnya tidak sejalur. di media arus utama tidak mengenal kata amatir, karena di media arus utama mereka yang bekerja (menulis) adalah orang yang di bayar untuk bekerja dan pelakunya berprofesi dan berkemampuan menulis. dan inilah yang dinamakan “profesional ” bersangkutan dengn profesi, memiliki kemampuan khusus, dan mengharuskan adanya pembayaran” . maka jelas media arus utama tidak mengenal kata amatir yang menajalankan sesuatu hanya atas dasar kesenangan dan bukan uang.

terakhir saya setuju bahwa kompasiana adalah tempat umum dan siapa saja boleh berbagi dan berinteraksi. inilah tempat amatir tempat orang-orang berbagi (tulisan khususnya) atas dasar kesenangan dan bukan uang. jurnalis warga bukanlah kontributor apalagi wartawan tapi adalah orang-orang yang menikmati menulis dan berbagi wacana, opini, hingga cerita atas dasar kesenangan. inilah kompasiana, tempat para amatir bersenang-senang. maka tak perlu risau dipanggil amatir karena amatir adalah orang yang melakuakn denangan cinta tanpa iming-iming harta benda.

namun, mengacu pada ungkapan Virginia Woolf, seorang sastrawati paling berpengaruh inggris di awal 1900an Writing is like sex. First you do it for love, then you do it for your friends, and then you do it for money” sampai kapan kita akan berbadi (menulis) atas dasar kita mencintai menulis? itu pertanyaan besar bagi kita sendiri sebenarnya. waris darmadi yang memancing om eh mas admin membuat pernyataan adalah bukti dari uangkapan satrawati yang wafat bunuh diri di sebuah sungai ini, beliau pertama mungkin menulis di kompasiana karena memang suka menulis, setelah itu dia menulis untuk temannya seperti masa-masa ribut dengan faizal assegah, dan kini setelah jadi wartawan mas waris menulis untuk mendapat uang.

syahdan, mengacu pada quote tante Virginia Woolf…. untuk apakah kita menulis sekarang wahai para amtir…… cinta, teman, atau uang…
Read More...