Jumat, 18 Maret 2011

Berhenti

Leave a Comment

senja merona, garis-garisnya begitu cantik menggurat setiap gumpalan awan putih yang mulai menghitam, dan terpaan lembayung membuat pesona semakin indah walau matahari tak tampak kali ini. berkejaran dengan jingga yang memudar seorang anak kecil berlari dengan keringat yang peluh jelas terlihat menetes dari dahi membentuk aliran air yang menetes dari dagu yang tumpul itu. bibirnya yang kering membentuk garis-garis yang merekah seperti tanah-tanah petani yang kehilangan saluran irigasi di musim kemarau. tapi matanya menatap tajam berkobar penuh harapan dan semangat. hiduknya tampak memompa udara lebih kuat dari ukuran normal, nafasnya jelas tersengal-sengal, melodi nafas itu bersimfoni dengan hembus angin sore dan sangat merdu, namun teriakannya memekakan telingan begitu keras sambil melambai,

kfk.kompas.com sumber foto
“berhenti………” teriak anak itu

entah kepada siapa dia berteriak, kepada senja kah untuk menunda kedatangan malam, kepada manusia yang berjalankah untuk sejenak istirahat dari akrifitas atau pada kendaraan yang melaju yang penat mengangkut manusia-manusia sombong tak tahu diri. tak ada yang berhenti, kecuali seorang kakek tua bercelana pendek dan berkaus putih yang tengah mengayuh sepeda onta. pak tua itu sepertinya mengenali nada yang menggema dari pita suara anak kecil tadi, dengan perlahan, pak tua itu menghentikan sepedanya, dia turunkan kaki kirinya yang tanpa alas kaki untuk menginjak tanah, dan dengan perlahan kepala kakek itu memutar 180 drajat searah jarum jam dengan raut muka penuh tanya. perlahan matanya menyudut mendahului wajahnya, dan seperti bereaksi, pesan dari mata masuk melalui deretan rangkayan syaraf di otak memberi kabar bahagia kepada bibir dalam sepersekian nano detik, bibir kakek tua merekah dan rona wajah penuh tanya tadi seketika berubah memancarkan kebahagiaan. seketika itu juga mulutnya terbuka dan berteriak,

“berhenti….” teriak kakek itu
si anak kecil tadi berhenti berlari, dengan tatapan heran dan penuh tanya, kemudian dengan pelan dan tegas dia mengeluarkan suaranya kembali,

“ada apa kek…?
kakek itu menjawab “biar kakek yang menyusulmu kesitu”
“tidak perlu, saya saja yang kesitu, bukankah saya yang menyuruh kakek berhenti tadi”balas si anak kecil

“tidak, ini salah kakek, yang tak sadar telah meninggalkanmu tadi”

“bukan, kakek tidak salah… sayalah yang seharusnya minta maaf karena telah berbuat tidak sopan dengan menghentikan perjalanan kakek”

“baiklah kalau begitu, sekarang biarkan kakek berbalik arah untuk berjalan kearahmu nak…”
“tidak perlu, biar saya yang kesitu”

“jangan dipaksakan, aku memakai sepeda sedangkan kau jalan kaki, harusnya aku yang menyambangimu”

“bukan begitu kek, biar saya yang berjalan ke arah depan dan kakek berdiri disitu”
malam semakin gelap dan lembayung senja mulai hilang ditelan kegelapan, tak ada bulan tak ada bintang, mendung menutup semua sinar yang mestinya berkilau tat kala malam datang menyapa.

“tadi saya yang mengejar kekek, jadi biarkan saya berjalan sedikit lagi” tegas anak itu
“tidak nak, kau sudah berlari kini biarkan aku kembali mengayuh ke arahmu” sang kakek berujar lebih tegas

semakin lama semakin hening, sedikit isak jangkrik malam yang tersisa dalam gelap tanpa cahaya, benar-benar gulita, hingga anak kecil dan kakek tua tadi tak bisa saling melihat
Read More...

Rabu, 16 Maret 2011

Istirahat Menyepi Membeku

Leave a Comment

aku ingin tenggelam dalam setiap halaman, terkapar dalam setiap kisah jiwa yang terkapar. manusia naif yang tenggelam dalam rindu yang tak berdasar, biarkan kini sejenak menyepi dari riak mimpi yang tak bergambar. berlari menjauh dari kebisingan dan keresahan, menjadi pohon yang tumbuh dalam sepi, menjadi bunga yang mekar dalam hening, menjadi rumput yang bergerak dalam tenang, menjadi bintang yang bersinar dalam gelap, menjadi bulan dan matahari yang bergerak dalam diam. biarkan tenggelam dalam kisah yang terus diam. kini air pun telah membeku.

maafkan diriku jika kali ini aku tak sempat pamit padamu, kuingin sendiri kali ini. merenungi hidup yang kian hari bergerak tanpa rasi. setiap jejak langkah yang kudaki adalah rangkaian mozaik yang berada dalam janji untuk tersusun rapi. tapi sepertinya semua itu masih mimpi karena mozaik tak pernah jadi. beristirahat dalam hidup untuk berlari dalam sepi hingga diri ini membeku dalam mimpi.
Read More...

Senin, 07 Maret 2011

Kunang-kunang dalam Kenangan

Leave a Comment

saya yakin tidak semua orang pernah melihat kunang-kunang secara langsung. serngga kecil yang hidup di dataran tropis ini sangatlah spesial, selain karena termasuk serangga yang “langka” tapi juga karena mampu berkelap-kelip dengan indah.

dulu waktu saya masih kecil dan tinggal di kampung, serangga ini bukanlah hewan mewah, karena tiap kemarau, biasanya kunang-kunang muncul di halaman rumah secara “gaib” atau jika ingin melihat sekumpulan kunang-kunang dalam jumlah besar tinggal berjalan beberapa langkah ke arah sawah. maka akan di sambut tarian magis para kunang-kunang.

bermain, berlari, bersama kunang-kunang diantara rumput-rumput dan deretan pohon di hutan ujung desa masih meninggalkan memori indah hingga kini. tawa dan canda di tengah dengung serangga dan kelip cahaya tak kan hilang digerus waktu. tapi kenangan indah itu kini seperti bayangan hantu kekhawatiran, bahwa semua itu hanya tinggal kenangan.

di kampung saya, unang-kunang sering di sebu dengan “cicika”. biasanya selalu dianggap kuku mayat. itu menjadi cara orang tua untuk menakut-nakuti anak-anak supaya pulang ketika malam semakin larut. karena anak-anak kalau sudah mengejar kunang-kunang suka lupa waktu. apalagi ketika itu di kampung belum ada listrik PLN, jadi segala yang bercahaya seperti, kunang-kunang, bulan purnama hingga jamur yang bisa bercahaya hijau selalu menjadi daya tarik tersendiri.

cahaya di malam hari bak sebuah anugerah yang luar biasa kala itu. tapi kini semenjak tinggal di jogja saya kehilangan semua itu, memang semuanya bercahaya, malam dan siang sama saja. tapi lama-kelamaan, cahaya tidak lagi menjadi sesuatu yang begitu luar biasa. tidak ada lagi kunang-kunang yang bisa di kejar, ditangkap, dan di ajak bermain-main.

hilang sudah semua itu. jogja memang begitu bercahaya di malam hari, hampir semua cahaya lampu dari jenis apa saja dalam berbagai versi ada semuanya indah, tapi itu semua serasa hampa, saya seperti kehilangan cahaya-cahaya masa kecil di kampung. tak ada lagi kelip kunang-kunang, tak ada lagi cahaya jamur yang hijau dalam kegelapan, hingga sinar rembulan yang purnama pun tenggelam dalam lautan neon dan lampu kota walau sudah di bantu kelip bintang.
Read More...

Rabu, 02 Maret 2011

wahai bunga, aku hanya segenggam tanah

42 comments

rabu ini tercatat tanggal 2 maret 2011 di kalender baru yang terpampang di dinding kamar, persis di samping sebelah kiri layar monitor. pagi yang diselimuti langit mendung, bahkan sejak ba'da subuh tadi rintik grimis mendayu membawa suasana mistis di bumi jogja. harusnya matahari sudah muncul seperti biasa menyinari kota membakar mimpi-mimpi semalam yang penuh luka. suasana ini menyeret kisah masa lalu ke masa kini, di mana memori yang telah lama usang kembali terkuak penuh brontak. alunan sel-sel otak bersetubuh dengan ratapan hati, mengingatmu kembali, penuh tanya "dimana engkau kini?", masihkah kau mengingatku seperti aku mengingatmu di kala sendiri. ya aku sendiri hanyalah segenggam tanah dalam gumpalan tak berarti. yang tak memiliki hak apapun atas dirimu, aku hanya memiliki kewajiban menjadi tempatmu tumbuh dari sebiji tak bermakna untuk tumbuh besar, indah dan penuh pesona. karena aku hanya segenggam tanah...


aku tak pernah ingin jadi kumbang atau kupu-kupu yang terus mengelilingi dan memujimu selalu.
aku hanyalah segenggam tanah dimana kau tumbuh dan menancapkan akarmu.
aku hanyalah segenggam tanah yang bergelimang cacing dan akan semakin lacur tat kala air menerpaku. tapi itu semua aku terima untuk menjagamu agar terus tumbuh dan tegak hingga kau menjadi pesona.
aku hanyalah segenggam tanah dimana saat sebagian diriku menyentuhmu, pemujamu akan menyingkirkanku.
aku hanyalah segenggam tanah yang terus menemanimu kala panas dan hujan menerpa.
aku hanyalah segenggam tanah yang menyaksikanmu dirampas paksa.
aku hanyalah segenggam tanah yang tak punya kuasa atas dirimu yang penuh pesona.

kini kau pergi, dengan sisa kelopak layu yang menguning jatuh menerpaku sebagai sebuah tanda perpisahan. namun sepertinya dunia begitu nyata menolak persatuan kita, sisa kelopak layu yang sudah menguning itupun seperti tak rela mengurai bersatu bersamaku karena angin menerbangkannya enta kemana.

kini, dimana engkau berada, masihkah kau mengingatku seperti aku mengingatmu kini, wahai bunga, aku masih disini tepat dimana kau tumbuh.
Read More...