Rabu, 12 November 2008

Jihad, G-WOT dan Humanisme

1 comment
Oleh: Agus Maftuh Abegebriel

Dalam sebuah forum internasional ” Transnational Islamic Movements; Network, Structure and Threat Assessment”, saya berkesempatan bertemu dengan pakar-pakar peneliti dan pengamat gerakan Islam dari berbagai belahan dunia.

Mereka adalah Mateen Siddiqui, wakil presiden ISCA (The Islamic Supreme Council of America-al-Majlis Al-Islami al-Syar’i al-A’la Fi Amerika), sebuah lembaga yang didedikasikan ”Promoting tolerance and moderation in Islam”. Mateen ”tampil beda” di forum tersebut lengkap dengan ”tsaqafah” jenggot lebatnya dan kopyah putih yang menambah kewibawaannya sebagai pengamal thariqah dibawah mursyid Syeikh Muhammad Hisnam Kabbani. Hadir juga sang penulis buku ”Inside Al-Qaeda”, Dr. Rohan Gunaratna yang juga peneliti senior pada Center for Study of Terrorism and Political Violence di Universitas St. Andrews dan International Policy Institute for Terrorism, Israel. Pakar-pakar level internasional lainnya yang berkesempatan hadir adalah Prof. Dr. Greg Fealy dari ANU (Australian National University) Canberra, Prof. Dr. Zachary Abuza, seorang guru besar dari Simmons College Boston yang memiliki keahlian dalam penelitian ”Terrorist Fundraising” dan hadir juga intelektual dan mantan Duta Besar Pakistan untuk Srilanka Prof. Dr. Hussein Haqqani yang pada tahun 2005 meluncurkan buku berjudul ”Pakistan between Mosque and Military”.

Disela-sela Coffe Break, saya sempatkan untuk berbincang dengan Hussein Haqqani dengan memunculkan beberapa diskursus tentang politik Islam yang memang sangat urgen untuk dipertanyakan kepada beliau yang pernah menjadi Penasehat tiga Perdana Menteri Pakistan yaitu Ghulam Musthofa Jatoi, Nawas Syarif dan Benazir Bhutto. Dalam keyakinan saya–yang pernah mengadakan penelitian gerakan Islam Internasional–Hussein adalah orang yang sangat tahu dan saksi penting–meski bukan saksi kunci–dari sebuah perselingkuhan politik–agama yang didesain bersama oleh AS, Pakistan dan Saudi Arabia. Ketika Husein Haqqani menjadi penasehat PM Pakistan, terjadi mobilisasi mujahidin internasional di Peshawar yang menjadi embrio dari ”The Virtual University for Future Islamic Radicalism”. Saya pertanyakan kepada Husein–yang masa mudanya aktif sebagai anggota Jama’ate Islami-nya Maududi–tentang bagaimana sebenarnya desain Jenderal hamed Gull (Kepala Intelijen Pakistan-Interservice Intelligence, ISI) yang menginginkan sebuah ”International Islamic Front” untuk mengimbangi kekuatan NATO dan Pakta Warsawa. Hussein Haqqani, profesor di Universitas Boston, terlihat sangat kaget dengan pertanyaan tersebut terutama ketika saya menyebut nama Hameed Gull yang punya hubungan dekat dengan W.J.Casey (CIA). Jawaban Hussein hanya dengan ”bahasa tertawa” dan saya sudah cukup paham dengan jawaban bahasa tubuh tersebut. Hussein menyadari bahwa memang pernah terjadi sebuah even besar di Pakistan yang dampaknya sekarang mendiaspora ke seluruh kawasan benua.

Dalam penelitian saya yang tertuang dalam buku ”Negara Tuhan; The Thematic Encyclopaedia” memang mengarah pada kesimpulan bahwa ada keterlibatan operasi intelijen dalam skandal Peshawar dalam memobilisasi radikalisme internasional untuk melawan Uni Soviet, yaitu intelijen Saudi Arabia dengan komandan Pangeran Turki al-Faisal yang punya hubungan dekat dengan Usamah bin Laden, CIA yang dimonitori oleh William Joseph Casey dan juga MI-6 (Millitary Intelligence Sextion Six) Inggris dan ISI (Interservice Inteligence) Pakistan dibawah komando Jenderal Hameed Gull dan kemudian Jenderal Akhtar Abdurrahman.

Kutipan berbahasa Arab diawal kata pengantar ini merupakan ungkapan jujur dari Richard A. Clarke, sebagai ”orang dalam” gedung putih dengan jabatan penasehat US National Security. Clarke mengungkapkan kejujurannya dalam menanggapi ”terrible job”nya Bush dalam sebuah karya monumentalnya yang bertitelkan ”Againts All Enemies; Inside America’s War on Terror” yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Arab dengan judul ”Fi Muwajahati Jami’i al-A’da; Min Dakhil Kharbi Amerika ala al-Irhab”. Dalam kutipan dimuka, Clarke membeberkan bagaimana operasi rahasia dalam pemerintahan Presiden Reagan, yang ketika itu CIA dikomandani oleh Casey, menggelontorkan berjuta-juta dollar untuk mendukung dan menumbuhsuburkan jejaring radikalisme militan internasional untuk mengakhiri sejarah ”the Red Peril” Uni Soviet. Clarke juga membuka rahasia bahwa pada tanggal 12 September 2001 sehari setelah tragedi WTC, dia dipanggil mendadak oleh Presiden Bush dan diperintahkan untuk mencari bukti keterlibatan Saddam Hussein dalam serangan tersebut. Namun Clarke dengan nyali besarnya menulis laporan resmi kepada Presiden Bush bahwa ”tidak ada bukti sama sekali yang mengarah pada keterkaitan Saddam Hussein dengan serangan WTC tersebut” dan laporan Clarke ini juga ditandatangani oleh CIA dan FBI. Akan tetapi laporan tersebut karena tidak sesuai dengan keinginan Bush dikembalikan lagi kepada Clarke dan diberi sebuah catatan yang berbunyi ” Please Update and Resubmit”.

Pasca 11/9, bermilyar-milyar huruf disusun dan bermilyar kata dirangkai untuk mendiskusikan tragedi kemanusiaan tersebut dan salah satunya adalah ”Againts All Enemies” tersebut. Dari sekian banyak karya, terdapat satu buku yang paling menohok jantung pertahanan Amerika yaitu sebuah tulisan mantan Menteri Teknologi Jerman Andreas von Bulow bertitelkan Die CIA und der 11 September yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dengan judul CIA and September 11. Von Bulow yang pernah menjadi kepala divisi intelijen di Komite Parlemen Jerman ini memaparkan secara gamblang tentang apa yang sebenarnya terjadi dibelakang layar tragedi WTC 11/9 tersebut. Buku yang lengkap memuat daftar nama para pembajak, crew dan penumpang pesawat tersebut menggiring kepada sebuah kesimpulan bahwa Amerika dan CIA-nya terlibat dalam terjadinya tragedi kemanusiaan tersebut.

Buku Von Bulow yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Arab dengan judul ”CIA wa Dauruha Fi Ahdas 11/9, Al-Irhab al-Duwali wa Daur Ajhihati al-Mukhabarat” juga memaparkan sebuah bukti perselingkuhan agama-politik yaitu keberadaan Usamah bin Laden yang pernah melaporkan kepada CIA bahwa pasukan militan multinasional dari 46 negara telah siap mengakhiri riwayat negara Uni Soviet. Dalam sub bab tersendiri, Von Bulow juga melayangkan kritik pedasnya kepada sang think-tank legendaris AS, Zbigniew Brzezinski yang mempunyai andil besar dalam memberikan masukan-masukan kepada pemerintah Amerika.

Zbigniew Brzezinski pada tahun 1997 pernah memunculkan buku penting yang merupakan panduan perselingkuhan As-Islam Fundamentalis berjudul ”The Grand Chess Board; American Primary and It’s Geostrategic Imperative” yang edisi Timur Tengahnya digarap oleh Amel al-Syarqy dengan judul ”Riq’ah al-Satranji al-Kubra; al- Usuliyyah al-Amerikiyyah wa Mutatallibatuha al-Jeostratejiyyah”. Buku Zbig ini menjadi buku wajib dan pegangan pokok bagi komunitas neokonservatif Amerika (al-Usuliyyah al-Amerikiyyah).


Fenomena Devil's Game

Buku karya Dreyfuss yang berjudulkan agak kasar dan vulgar ini memiliki anak judul ”How the United States helped unleash Fundamentalist Islam” yang sebenarnya merupakan konklusi dari pengembaraan Robert Dreyfuss digurun Sahara politik Timur Tengah. Investigasi Dreyfus ini melibatkan para pejabat Departemen Luar Negeri AS, para mantan pejabat intelijen, para diplomat, militer dan para expert Timur Tengah.

Buku edisi Inggris setebal 390 halaman ini membeberkan data keterlibatan AS dalam proyek penumbuhsuburan Religious Extremist. Ketika saya membaca buku ini terutama narasi dan sistematikanya terlintas dibenak saya sebuah gaya penulisan yang dikenal dalam Ulumul Qur’an dengan sebutan Munasabah/keterkaitan. Bab-bab dalam buku ini merupakan kesatuan yang integral dan harus dibaca secara urut, karena terkait dengan ”Munasabah bain al-Abwab” keterkaitan antar bab serta terkait dengan kronologi kejadian. Setiap akhir bab dipungkasi dengan paragraf yang akan menghubungkan dengan awal paragraf bab selanjutnya, sehingga buku ini memang harus dibaca secara komprehensif.
Dalam beberapa kali kontak saya dengan Dreyfuss, dia minta maaf karena cerita perselingkuhan AS-Islam Fundamentalis yang locus-nya di Indonesia tidak sempat terekam dalam buku Devil’s-nya, meski dia beberapa kali menyebut kata ”Indonesia”.

Data-data yang ditampilkan oleh Dreyfuss memang sesuatu yang sangat ”fresh”, ”genuine” dan spektakuler. Dreyfuss dengan berani melancarkan kritik kepada pemerintah AS yang gegabah dan ceroboh dalam pertemanannya dengan Islam fundamentalis. Di mata Dreyfuss ada persamaan signifikan antara Islam fundamentalis dan radikalisme Gereja yaitu keduanya menganggap pendapat kelompoknya yang paling benar dan ”yang lain” adalah murtad dan kafir.

Fundamentalisme Islam dan radikalisme Gereja sama-sama meyakini adanya ”God sovereignty” dan persatuan antara agama dan negara yang tidak terpisahkan. Para fundamentalis Gereja menganggap bahwa Amerika adalah ”Negara Agama Kristen (Christian State)” yang harus menguasai seluruh dunia dan di sisi lain, Fundamentalisme Islam menginginkan Khilafah global internasional untuk menghegemoni komunitas lain.

Keyakinan inilah yang bisa mendorong Direktur CIA William Joseph Casey-seperti tertulis dalam kutipan di awal pengantar ini-menjadikan Islam politik dan Gereja Katolik sebagai sekutu dan partner alami untuk meluluh-lantahkan komunisme ateistik Uni Soviet.

Dalam bab ”Militan Islam dalam Bingkai Israel” yang edisi Inggrisnya ”Israel’s Islamists” Dreyfuss memaparkan perjalanan intelijen Israel, Mossad dan Shin Bhet dalam menumbuhkembangkan gerakan Hamas yang didesain untuk mengimbangi Nasionalisme Arab yang sedang dibangun oleh PLO-nya Yasser Arafat.

Organisasi Harakah al-Muqawamah al-Islamiyah (Gerakan Perlawanan Islam) dikenal dengan akronim Hamas merupakan gerakan Islam terpenting di Gaza dan Tepi Barat yang diduduki oleh Israel. Kata Hamas juga berarti ”semangat” didirikan pada Desember 1987, yaitu awal dimulainya intifadhah (pemberontakan) orang-orang Palestina, sebagai ungkapan keorganisasian dari partisipasi al-Ikhwan al-Muslimun dalam perlawanan anti-Israel, setelah dua dasawarsa bungkamnya politik Islam. Sayap pasukan militernya disebut ’Izz al-Din al-Qassam, mengambil nama seorang Syeikh yang dibunuh oleh Inggris pada saat dimulainya revolusi besar Palestina tahun 1936.

Dengan mengklaim otoritas al-Ikhwan al-Muslimun dan berhubungan dengan cabang-cabang al-Ikhwan di Yordania dan Mesir, gerakan ini memiliki agenda utama mengIslamkan kembali masyarakat. Israel diyakini sebagai ujung tombak agresi Barat terhadap Islam sehingga pembebasan Palestina pada dasarnya adalah masalah agama, namun praktek mereka secara politis sangat terbatas. Al-Ikhwan al-Muslimun menahan diri dari penentangannya terhadap kekuatan pendudukan Israel dan membatasi aktivitas politiknya atas perlawanan terhadap Partai Komunis Palestina. Pada saat ini, kelompok Fatah-sayap utama dalam PLO (Organisasi Pembebasan Palestina) dan Yordania dengan senang hati mendorong serangan gerakan Islam terhadap pihak kiri, sedangkan Israel memiliki kepentingan dalam mendorong perpecahan dikalangan bangsa Palestina. Mereka berupaya membangun jaringan kesejahteraan sosial yang luas di Gaza di bawah koordinasi tokoh karismatis, Syeikh Ahmad Yasin, seorang guru yang cacat. Mereka juga menyusup ke sebagian besar masjid di Gaza dan mulai menguasai Universitas Islam.

Meskipun pada mulanya bersifat spontan, intifadhah segera menjadi terorganisasi melalui adanya komisi lokal dan regional. Dalam rangka memobilisasi seluruh masyarakat Palestina, Hamas dibentuk di Gaza atas prakarsa Dr. ’Abd al-Aziz al-Rantisi, seorang dokter yang bekerja di Universitas Islam dan Syeikh Yasin. Organisasi baru ini semula merekrut al-Ikhwan secara perorangan saja, tetapi pada Februari 1988, al-Ikhwan secara resmi menjadikan Hamas sebagai ”senjata tangguh”nya. Dalam perjanjiannya (mistaq) yang dipublikasikan pada Agustus 1988, Hamas menjelaskan sikap anti Israelnya. Jihad melawan Israel bagi Hamas menjadi fardlu ain, dan Hamas mengklaim untuk terus melanjutkan dengan jihad al-Ikhwan sejak 1930-an. Di mata Hamas, Israel adalah negara Yahudi yang menghendaki kehancuran Islam, tidak boleh eksis secara sah, dan aksi militer sebagai jihad suci merupakan satu-satunya pilihan untuk membebaskan Palestina.

Meskipun demikian, ternyata masih ada benih ketegangan antara Hamas dengan kaum nasionalis Palestina. Bagi Hamas, Palestina merupakan wakaf Islam hingga akhir zaman. Tidak sejengkal pun tanah Palestina boleh diserahkan kepada Yahudi. Selain itu, Islamisitas Palestina merupakan bagian dari agama, dan siapa pun yang meninggalkan agamanya, maka ia rugi. Oleh sebab itu, atas nama agama, Hamas menolak program politik yang dianut PLO ketika mendirikan negara Palestina. Pada November 1988, PLO mengakui keabsahan eksistensi negara Israel dan meminta diselenggarakannya konferensi internasional dibawah pengawasan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) untuk mendirikan negara Palestina yang merdeka dan hidup berdampingan dengan Israel.

Dalam paparan lain, Dreyfuss mencatat bahwa historitas masuknya AS secara insentif ke kawasan Timur Tengah dimulai pada 1945, sebuah meeting diatas sebuah geladak kapal yang berlabuh di Great Bitter Lake di atas Terusan Suez. Pada bulan Februari, dalam perjalanannya kembali ke Washington dari Yalta, Franklin Delano Roosevelt bertemu Raja Abdul Aziz bin Saud. Pertemuan pertama antara seorang presiden Amerika dengan seorang Raja Saudi ini di dek kapal lengkap dengan pesta kambing merupakan tiang pancang bagi keberlangsungan hubungan mesra kedua negara setengah abad kemudian.

Dreyfuss juga mengungkapkan pertemuan penting antara aktivis al-Ikhwan al-Muslimun, Said Ramadan-menantu Hasan al-Banna dengan Presiden AS Eisenhower-biasa dipanggil Ike-di ruang Oval Gedung Putih pada Agustus 1953. Said Ramadan berada di Amerika Serikat untuk menghadiri Colloquium on Islamic Culture di Princeton University, dengan lawatan sampingan ke Washington. Colloquium tersebut penuh dengan kemewahan, diselenggarakan di Nassau Hall Princeton di faculty Room. Di antara para pembicara dan peserta ada beberapa Orientalis terkemuka masa itu, orang-orang seperti Phillip K. Hitti, T. Cuyler Young, dan Bayly Winder dari Princeton, Wilfred Cantwell Smith dari McGill University, Richard Nelson Frye dari Harvard University, Carleton Coon dari University of Pennsylvania, dan Kenneth Cragg, editor jurnal The Muslim World, dari Hartford Seminary Foundation. Sebagai pengarah konferensi adalah Dr. Bayard Dodge, mantan Rektor American University di Beirut.

Biayai konferensi, termasuk biaya transportasi para peserta dari Timur Tengah, adalah tanggung jawab International Information Administration (IIA), suatu badan di bawah Departemen Luar Negeri AS, yang secara resmi dibentuk pada 1952 dan kemudian pada 1953, dilebur dalam Lembaga Informasi AS yang terkait dengan CIA.

Mereka Para Think-Tank

Dalam bab terakhir, Dreyfuss juga mengkritik ketidakobyektifan intelektuan barat, Huntington dan Bernard Lewis, yang tidak jernih dalam melihat fenomena radikalisme dan kadang justru memberikan teori justifikasi benturan peradaban yang dijadikan landasan gerak pemerintah Amerika Serikat untuk melaunching Perang Global terhadap terorisme yang memakan banyak korban.

Para neokonservatif Amerika pendukung mazhab “benturan peradaban” (shira’ al-Khadlarat) yang dipopulerkan oleh Bernard Lewis dan Samuel Huntington, memandang perang Presiden Bush terhadap terorisme bukan sebagai perjuangan melawan al-Qa’idah dan sekutu network-nya, tetapi sebagai pertarungan besar antara peradaban Yahudi-Kristen melawan Dunia Islam. Uniknya di Pentagon sendiri perang Global melawan Terorisme-Global War on Terrorism-yang biasa disingkat G-WOT (diucapkan “jee what”) memiliki kemiripan pronounsasi dengan kata “jihad”.

Bernard Lewis yang alumni SOAS (School of Oriental Studies) Universitas London tahun 1936, memainkan peran strategis sebagai profesor, mentor dan guru bagi dua generasi Orientalis, akademisi, ahli intelijen AS dan Inggris, komunitas think-tank, dan kalangan neokonservatif. Sementara itu di sisi lain, dia juga mendapatkan banyak sekali kecaman dari spesialis akademik dalam bidang Islam yang menuding Lewis sangat bias dalam sudut pandangnya yang mendukung Zionis dan anti Islam. Lewis adalah seorang Yahudi Inggris yang lahir 31 Mei 1916, menghabiskan lima tahun selama Perang Dunia II sebagai operator Timur Tengah bagi intelijen Inggris, dan kemudian menetap di University london. Tahun 1974 dia bermigrasi dari London ke Princeton, dimana dia membangun ikatan dengan orang-orang yang nantinya memimpin gerakan neokonservatif. Lewis juga menjadi pengunjung tetap Moshe Dayan Center di Tel Aviv University, dimana dia membangun hubungan dekat dengan Ariel Sharon.

Lewis-penulis The Clash Between Islam and Modernity in the Middle East-bergaul erat dengan para pejabat tinggi Departemen Pertahanan dan sering di undang untuk memberikan tutorial kepada Andrew Marshall, direktur Office of Net Assessments, sebuah think-tank internal Pentagon. Salah satu murid Lewis yang lain adalah Harold Rhode, seorang ahli Timur Tengah yang menguasai beberapa bahasa, bekerja di Pentagon selama lebih dari dua dekade, dan bertugas sebagai Deputi Marshall. Selama lebih dari dua puluh tahun sebelumnya, Lewis bertindak sebagai konsultan internal dalam bidang Islam dan Timur Tengah bagi sekelompok neokonservatif, termasuk Perle, Rhode dan Michael Leeden. Di tanya siapakah yang dia tarik sebagai ahli selama masa jabatannya sebagai direktur CIA , James Wooley menjawab, “Kami memiliki beberapa orang yang datang dan memberikan seminar. Saya masih ingat berbincang-bincang dengan Bernard Lewis”.

Meskipun Lewis tetap menjaga polesan objektivitas akademiknya dan banyak intelektual yang mengakui prestasi Lewis sebagai sejarahwan dan referensi utama mengenai sejarah Kekaisaran Turki Utsmani, namun ternyata penulis buku The Crisis of Islam; Holy War and Unholy Terror ini terbukti mengabaikan segala pretensi detachment academic (pemihakan akademik) pada 1990-an. Pada 1998, dia secara resmi bergabung dengan kubu neokonservatif, menandatangani sebuah surat yang menuntut pergantian rezim di Irak dari ad hoc Committee for Peace and Security in the gulf, yang juga turut di tanda tangani oleh Perle, Martin Peretz dari The New Republic, dan para pejabat yang kemudian hari menjadi orang pemerintahan Bush, yakni Paul Wolfowitz, David Wurmser dan Dov Zakheim.

Senada dengan Lewis, profesor Harvard University yang lahir 18 April 1927, Samuel Philips Huntington juga mempunyai kontribusi yang besar dalam mendorong Amerika ke jurang benturan peradaban. Menurut Huntington, bahwa dunia Yahudi-Kristen dan dunia Islam terkunci dalam sebuah kondisi perang kultural permanen. Para teroris seperti al-Qa’idah, yang masih sedang mencari bentuk ketika buku Huntington terbit-bukan sekedar sekelompok fanatik yang memiliki sebuah agenda politik, tetapi manifestasi dari sebuah konflik peradaban. Seperti sebuah ramalan Delphi modern, Huntington menyatakan bahwa para dewa telah menetapkan pertikaian itu, da manusia saja tidak mampu menghentikannya.


Usamah dan Intelejen Internasional

Raja Faisal, seorang raja tercerdas yang pernah dimiliki oleh Saudi mempunyai hubungan dekat dengan dinasti Bin Ladin. Dia adalah seorang raja moderat dan hidup sederhana mesti dia harus bekerja melayani rakyatnya selama 14 jam per hari. Raja Faisal adalah seorang raja yang berhasil menghapuskan praktek pernudakan di Arab Saudi dan juga yang berhasil mengantarkan kehidupan Saudi dari pola hidup abad pertengahan melompat jauh memasuki kehidupan modern dengan minyak sebagai benteng pertahanannya. Faisal juga yang telah memberikan kesempatan para wanita Saudi untuk berpartisipasi dalam mendapatkan pendidikan dan ini merupakan lompatan ”ijtihad” luar biasa yang pernah dilakukan oleh Faisal.

Kedekatan dinasti Bin Ladin dengan raja Faisal inilah yang membuat hubungan Usamah bin Ladin awalnya sangatlah dekat dengan keluarga Kerajaan Saudi dengan ikatan historis dan politis sebagai penopangnya yang kemudian membuat holding company bin Ladin menjadi satu-satunya perusahaan yang licensed untuk proyek-proyek kerajaan.

Hubungan Faisal-Bin Ladin ini berlanjut pada generasi kedua yaitu antara Usamah bin Ladin dengan Pangeran Turki al-Faisal yang tidak lain adalah kepala lembaga intelijen Saudi Arabia atau ”al-Istikhbarat”. Sebagai teman dekat Pangeran Turki pastilah Usamah bin Ladin mendapatkan informasi-informasi penting berkaitan dengan kebijakan-kebijakan kerajaan Saudi.

Keterlibatan Usamah bin Ladin dalam konflik Afghanistan yang akhirnya menjadi hulu dari sebuah gerakan ”al-Irhab al-Alami” al-Qa’idah sang teroris internasional ini tidak bisa dipisahkan begit saja dengan perkawanan Usamah bin Ladin dengan Pangeran Turki Faisal yang juga melibatkan Intelijen Pakistan (ISI) dengan komandan Jeneral Radikal Hameed Gull dan CIA dalam kendali William Casey. Dalam hal ini Ahmed Rashid penulis ”Taliban; Militant Islam, Oil dan Fundamentalism in Asia” menggambarkan betapa ada “special deal” antara Usamah bin Ladin dengan pihak intelijen sebagai berikut:

”Bin Laden, although not a royal, was close enough to the royals and certainly wealthy enough to lead The Saudi contingent.
Bin Laden, Prince Turki and General Gul were become firm friends and allies in a common sense”.

Lebih lanjut dalam penggambaran potret keakraban Usamah bin Ladin dengan CIA, Rashid selanjutnya menulis:

“In 1986 he helped build the Khost tunnel complex which the CIA was funding as a major arms storage depot, training facility and medical center for Mujaheddin, deep under the mountains close to the Pakistan border”.

Perkawanan Usamah bin Ladin dengan CIA ternyata tidak terhenti pada sebatas kebijakan permukaan, akan tetapi sudah terlalu masuk ke dataran training militer dan juga finansial serta persenjataan. Rashid sempat mengutip pernyataan Usamah bin Ladin yang sangat vulgar mengungkap sejauh mana “pertemanan”nya dengan Amerika ketika memasuki episode jihad Afghanistan sebagai berikut:

“To counter these atheist Russians, the Saudis chose me as their representative in Afghanistan, I settled in Pakistan in the Afghan border region. There I received volunteers who came from the Saudi Kingdom and from all over the Arab and Muslim countries. I set up my first camp where these volunteers were trained by Pakistan and American officers. The weapons were supplied by the Americans, the money by the Saudis. I discovered that it was not enough to fight in Afghanistan, but that we had to fight on all fronts, communist or Western oppression”.

Ketika Usamah bin Ladin berada di Sudan, dia masih secara kontinue menebarkan kritik pedasnya terhadap Kerajaan Saudi dan juga terhadap “ulama tukang”nya. Kritik ini dimuat di media massa sebagai headline yang hal ini membuat Kerajaan Saudi semakin geram dan akhirnya pada tahun 1994 status kewarganegaraan Usamah di cabut oleh Saudi Arabia. Meski bukan seorang intelektual yang mumpuni dalam bidang agama, Usamah mempunyai nyali yang besar dalam melontarkan kritik pedasnya terhadap mufti besar Kerajaan Saudi yaitu Bin Baz yang kekuatan fatwa dan tausiyah-nya merupakan sesuatu yang harus dipatuhi termasuk juga keluarga kerajaan. Wacana pemikiran keagamaan di Saudi Arabia sudah dibatasi dengan ”Apa kata Bin Baz”.

Pada tahun 1998, saya pernah mengadakan pertemuan langsung dengan Bin Baz, seorang ulama yang namanya pada awal tahun 80-an sudah akrab diteinga saya karena keterlibatannya dalam sebuah lembaga yang pada saat itu bernama “Majma’ al-Buhus al-Islamiyyah fi al-Ifta wa al-Dakwah wa al-Irsyad” yang dalam setiap empat bulan sekali menerbitkan jurnal yang sangat tebal dalam nama “Majallah al-Buhus al-Islamiyyah”. Penasaran saya di awal-awal tahun 80-an dengan seringnya membaca pernyataan ulama senior ini mendorong saya untuk bertemu langsung secara fisik dan ini menjadi kenyataan pada tahun 1998 di rumahnya yang berada di bilangan Aziziyyah Makkah selama dua jam yang diakhiri dengan perjamuan makan “model Arab” beserta para anggota “Hai’ah Kibar al-Ulama”.

Kritik Usamah terhadap Bin Baz sudah merupakan sikap yang kebablasan–untuk ukuran Saudi-maka tidak mengherankan jika kemudian ketersinggungan Kerajaan Saudi Arabia berujung pada pembekuan proyek yang dikerjakan Usamah bin Ladin di Sudan.

Kolega Usamah “Arab-Afghans” yang datang dari kawasan Asia Tengara hampir semuanya lewat rekomendasi dan disposisi Abdullah Sungkar yang sudah mempunyai hubungan khusus dengan Abdurrasul Sayyaf di Pakistan. Para mujahidin yang berasal dari Indonesia dalam diskusi ideoligisnya di Peshawar sudah barang tentu mengusung ide DI/TII Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo yang dikenal sebagai Bapak Proklamator Negara Islam Indonesia. Betapapun tak bisa dipungkiri bahwa Abdullah Sungkar memang mempunyai “connecting flight” dengan gerakan DI/TII terutama setelah bersama-sama dengan Ajengan Masduki sebelum akhirnya pada tahun 1993 bercerai secara ideologis. Kontingen Indonesia yang waktu itu sebagai peserta pendidikan militer di Peshawar, mestinya juga mendiskusikan tentang Kanun Asasinya NII yang terdiri dari XV bab dan 34 pasal di samping juga mempresentasikan KUHP NII yang terdiri dari X bab dan 27 pasal.

Semua kontingen berusaha untuk saling belajar dan interaksi ideologis strategis untuk lebih mantap dalam melangkah menapaki kehidupan dengan payung ”Negara Tuhan”. Di samping gesekan-gesekan personal di Peshawar Pakistan, di Afghanistan juga terjadi pertemuan dan perkenalan lebih intens antar organisasi dan gerakan Islam garis keras mulai dari al-Ikhwan al-Muslimun, Jama’ah al-Jihad, al-Jama’ah al-Islamiyyah baik yang dari Mesir, Maroko, Tunis ataupun dari Pakistan sendiri yang merupakan heritage-nya Abul A’la al-Maududi dan juga HAMAS, Hizb al-Tahrir-nya An-Nabhani al-Filastini, al-Takfir Wa al-Hijrah atau Jama’at al-Musliminnya Syukri Mustafa, MILF Abu Sayyaf, DI/TII dan masih banyak lagi gerakan-gerakan Islam radikal militan yang memenuhi undangan Negara Pakistan sebagai bagian proyek ”Against Atheis Movement” dalam perspektif Islam dan ”Against Communism” dalam perspektif Amerika dimana mereka semua menghadapi ”the same and common enemy”.

The Virtual Universities For Future Islamic Radicalism

April 1989, PM Benazir Bhutto mengadakan perjamuan malam bersama para wartawan di Islamabad. Di antara yang hadir dalam acara tersebut adalah para pejabat penting pemerintahan, termasuk sosok Jenderal Pakistan yang paling dikenal dalam perang Afghanistan, Jenderal Hameed Gull. Gull menjabat sebagai Komandan Biro Intelijen Pakistan (Interservice Intelligence-ISI) yang sangat kuat ideologi Islamnya dan merupakan perwira militer sayap radikalis sejak periode Zia. Prestasinya luar biasa cemerlang dan sangat populis dalam mengatur strategi memporak-porandakan benteng pertahanan komunis Uni Soviet di Afghanistan.

Dalam kesempatan perjamuan tersebut, Ahmed Rashid yang selama 21 tahun berpengalaman sebagai jurnalis perang, termasuk dalam perang Afghanistan, mengajukan pertanyaan penting kepada Jenderal Gull. Ia mengawali pertanyaannya bahwa Jenderal sedang bermain api dengan mendatangkan para radikalis militan dari setiap kawasan negeri-negeri muslim ke Peshawar Pakistan. Apakah ada jaminan bahwa para radikalis militan tersebut untuk tidak akan menebar keributan dikemudian hari ketika kembali ke negerinya masing-masing, yang hal ini justru akan mengancam dan membahayakan kebijakan politik luar negeri Pakistan? Dengan cukup enteng Gull menjawab, ”Kami sedang berperang memenuhi panggilan jihad dan perang ini telah memapankan terbentuknya barigade muslim internasional pertama kali di era modern. Komunis memiliki Pakta Warsawa, Barat mempunyai NATO, kenapa kita tidak membentuk ”International Islamic Front” yang menegaskan identitas Islam untuk pertahanan bersama? Bagi Rashid, front ini adalah yang pertama kali dan hanya merupakan justifikasi untuk memberikan nama front pertahanan dengan sebutan ”Arab-Afghans” sekalipun di dalam front tersebut banyak outsidets yang tidak semuanya orang Arab”.

Tiga tahun sebelumnya, pada tahun 1986, Petinggi CIA, William (Bill) Casey, telah menata sebuah rencana besar untuk mengatur strategi penghancuran Uni Soviet. Strategi penghancuran ini merekomendasikan tiga langkah strategis yang bersifat ”highly secret”. Pertama, William Casey sebagai ”lurahnya CIA” akan merayu dan meyakinkan Konggres Amerika untuk menjadi ”provider” senjata untuk para mujahidin dengan senjata anti pesawat terbang buatan mereka akan merontokkan pesawat-pesawat tempur Soviet. Casey juga melobi konggres untuk menyediakan dan instruktur cerdas untuk memberikan ”perkuliahan strategi perang” kepada para gerilyawan. Selama ini, lanjut Casey tidak boleh ada senjata dengan warna dan bau Amerika dan juga tidak boleh ada personel Amerika yang diterjunkan secara langsung dalam kancah pertempuran.

Kedua, CIA, MI6 dan ISI Pakistan menyetujui master paln dari rencana Casey ini untuk ”launching” gerilyawan dengan tujuan memberikan balasan mengahabisi Soviet yang pernah membuat AS kerepotan di Vietnam. Pilihan target difokuskan pada kawasan Tajikistan dan Uzbekistan yang merupakan dua daerah yang dihuni oleh para muslim lentur dan lemah yang hidup dibawah Soviet. Tempat ini juga merupakan mata rantai pasukan Soviet yang berada di Afghanistan dalam menerima supply peralatan perangnya. Tugas penyerangan ini dibebankan pada tokoh yang merupakan favorit dan leader para mujahidin yaitu Gulbudin Hikmatiyar. Pada bulan Maret 1987, unit kecil mulai menyusuri sungai Armu Darya dari kamp sebelah utara Afghanistan dan melancarkan serangan roket pertama kali dengan diarahkan ke pemukiman Tajikistan.

Mendengar keberhasilan serangan pertama dalam proyek ”provokatif”nya tersebut, Casey sangat kegirangan dan langkah selanjutnya adalah dia mengadakan kunjungan rahasia ke Pakistan dan menyusuri perbatasan Afghanistan bersama dengan Presiden Zia yang mempunyai proyek Islamisasi negara untuk meninjau dan melihat para mujahidin.

Ketiga, Casey memerintahkan CIA untuk memberikan dukungan dan memberikan arahan pada proyek ISI ini yaitu dengan cara rekrutmen para muslim militan dan radikal dari semua kawasan negeri muslim untuk bergabung dengan para mujahidin Afghanistan.

Dengan dukungan CIA tersebut, ISI sangat besar hati dan sekarang pemain-pemain outsider mempunyai alasan-alasan yang kuat untuk mendukung ide ini. Disamping itu Presiden Zia juga mempunyai ambisi kuat untuk membuat sebuah kesatuan Islam yang solid dan kuat yang dapat mengantarkan Pakistan menjadi leader Dunia Islam dan juga membantu opsisi-opsisi Muslim di Asia Tengah.

Washington sendiri juga ingin mendemonstrasikan bahwa semua muslim di dunia mampu melawan Soviet bersama-sama dengan orang-orang Afghanistan dan tentunya dengan “American Benefactors”. Dalam hal ini, Kerajaan Saudi melihat dua keuntungan sekaligus yaitu: pertama, untuk mempromosikan pengaruh Wahhabisme yang merupakan asas tunggal politiknya. Kedua, memberikan lahan garap para radikalis Saudi yang kecewa terhadap pemerintah kerajaan Saudi.

Pada waktu itu, tidak ada satupun dari pemain-pemain tersebut (CIA, MI6 dan ISI) memperhitungkan dampak dari sebuah mega proyek ini. Mereka tidak pernah melakukan kalkulasi matematis dan sosial bahwa sebenarnya para sukarelawan yang datang ke Afghanistan yang kemudian di kenal dengan sebutan Arab-Afghans atau veteran Afghans tersebut, mempunyai hidden agenda yang sangat mungkin kebencian mereka terhadap Soviet akan diaplikasikan pada pemerintahan negeri mereka dan termasuk juga kepada Amerika sendiri.

Memang untuk mempersiapkan operasi ”destroying the same enemy” ini, Pakistan sudah mempunyai Standing Instruction dengan semua kedutaan besarnya di luar negeri untuk mempersiapkan “pengobralan” visa dengan tanpa mempersulit kepada siapa saja yang ingin datang ke Pakistan dan punya niat untuk berjihad bersama pejuang-pejuang Afghanistan.

Antara 1982 sampai dengan 1992 telah terekrut sekitar 35.000 muslim militan dan radikal dari 43 negara muslim baik dari Timur Tengah, Afrika Utara dan Timur, Asia Tenggara dan Asia Timur jauh termasuk Indonesia setelah mereka melewati ”pembai’atan” untuk terlibat dikancah peperangan bersama para mujahidin Afghanistan. Perlu dicatat di sini bahwa sepuluh orang dari sekitar seribu mujahid tersebut dididik secara khusus di ratusan madrasah yang dibangun oleh militer Zia di sepanjang Perbatasan Afghanistan. Hingga pada akhirnya lebih dari 100.000 muslim militan dan radikal mempunyai kontak langsung dengan Pakistan dan Afghanistan dan mereka sudah dipenuhi oleh semangat jihad yang tinggi melawan ”Atheism State” di mata para mujahidin dan ”Communism Peril” di mata Amerika.

Di sebuah kamp dekat Peshawar dan juga kamp di Afghanistan, para mujahidin ”Arab-Afghans” ini saling bertemu untuk pertama kalinya, belajar bersama, berlatih bersama, latihan perang bersama dan juga mereka saling menceritakan kondisi negara mereka masing-masing. Sebuah keuntungan pertama kali yang mereka dapatkan adalah tukar pikiran dan diskusi panjang tentang gerakan-gerakan Islam yang bermunculan di negeri-negeri mereka dan dari semua kawasan dengan semua ide-idenya termasuk Syari’at Islam secara kaffah. Dari sinilah mereka mempunyai jaringan ideologis yang berskala internasional dan semangat yang menghantarkan kepada sebuah agenda jangka panjang dimana suatu saat nanti setelah mereka kembali akan dipraktekkan dan diaplikasikan di negeri mereka masing-masing. Kamp ini telah menjadi layaknya :the Virtual Universities For Future Islamic Radicalism”

Saat itu, tidak ada satupun dari Dinas Intelijen yang terlibat dalam orkestra ini menyadari dan mempertimbangkan serta berpikir atau pura-pura tidak faham tentang konsekuensi, konsensi dan dampak yang harus dibayar mahal akibat dari pengerahan besar-besaran para militan muslim dari berbagai kawasan.

Rakyat Amerika baru sadar dan terjaga dari tidurnya setelah konsekuensi dan konsesi dari pelatihan para muslim militan radikalis di laboratorium terbuka Pakistan dan Afghanistan telah merontokkan gedung WTC 1993 dan membunuh enam orang serta melukai lebih dari seribu orang yang dikenal dengan tragedi WTC I dan melibatkan nama Dr. Umar Abdurrahman pimpinan al-Jama’ah al-Islamiyyah Mesir.

Ahmed Rashid seorang jurnalis Pakistan yang merekam sebuah pentas perang selama 21 tahun menulis, bahwa kebanyakkan para militan radikalis ini berkeyakinan jika jihad “Arab-Afghans” tealh sukses melumpuhkan salah satu negeri super power di muka bumi ini, maka logikanya kekuatan ini sebenarnya bisa juga untuk menghadapi super power- super power lainnya di muka bumi ini termasuk Amerika dan juga pemerintahan negeri asal mereka yang infidel. Logika argumen ini didasarkan realitas yang berangkat dari “simple premise” bahwa jihad Aghans sendiri saja telah mampu membuat Soviet bertekuk lutut dan lari ketakutan menghadapi mereka. Mereka sama sekali tidak melibatkan alasan-alasan internal lainnya yang membuat kolapsnya sistem Soviet yang salah satunya memang harus diakui disebabkan oleh Arab-Afghans, namun ini bukan satu-satunya faktor. Pada sisi lain, Amerika melihat runtuhnya Soviet disebabkan kegagalan sistem komunisme sebagai penopang andalan, tetapi bagi mujahidin Afghans kemenangan ini murni kemenangan Islam. Bagi para militan kemenangan ini juga disebabkan penghayatan yang tinggi atas kenangan-kenangan yang mendalam ketika Islam menerobos kawasan-kawasan dalam melebarkan sayapnya pada abad VII-VIII H. mereka beralasan, The New Islamic Ummah bisa menjadi kuat karena pengorbanan-pengorbanan dan darah dari generasi baru yang siap menjadi syuhada (martyrs) untuk kemenangan-kemenangan yang lebih banyak lagi.

Pada dataran lain, Dinas Intelijen Pakistan sangat punya kepentingan dalam mendekati Pangeran Turki bin Faisal yang tidak lain adalah komandan al-Istikhbarat--lembaga intelijen Saudi--mendorong agar Pangeran Turki melobi Kerajaan agar mengirimkan kontingen perangnya untuk berjihad di Afghanistan. Hal ini juga didorong kepentingan untuk membuktikan bahwa orang-orang radikal Saudi ternyata juga mempunyai loyalitas pada Kerajaan. Disinilah peran Usamah bin Ladin menempati pos strategis, meski dia bukan keluarga Kerajaan Arab Saudi, namun dia memiliki hubungan sangat dekat dengan keluarga kerajaan yang dalam hal ini adalah Pangeran Turki bin Faisal dengan membawa catatan kesejarahan Muhammad bin Ladin yang sangat akrab dengan Raja Faisal bin Abdul Aziz, satu-satunya Raja Saudi yang paling cerdas dan moderat.

Dengan hubungan kesejarahan inilah akhirnya Usamah bin Ladin, Pangeran Turki dan Jenderal Hameed Gull mendirikan sebuah “perusahaan perkawanan” dan beraliansi bersama CIA dan MI-6 untuk menghadapi “the same enemy” Uni Soviet. Mulai dari sinilah, cerita panjang tentang Usamah bin Ladin memasuki episode awal dari sebuah episode panjang yang samapi sekarang belum berakhir.


Al-Qaidah dan Fatwa Dehumanisasi Global

Pada tanggal 23 Februari 1998 dibentuk sebuah front dengan nama “al-Jabah al-Islamiyyah al-Alamiyyah Li Jihad al-Yahud wa al-Salibiyyin” (The International Islamic ront for The Struggle Againts The Jews and The Crussaders) dan langsung mengeluarkan sebuah fatwa dan di sosialisasikan kepada seluruh kaum muslimin. Fatwa spektakuler ini ditandatangani oleh Usamah bin Ladin sendiri, Dr. Ayman al-Zawahiri selaku pimpinan Jamaah al-Jihad Mesir, Abu Yasir Rifa’i Ahmad Thaha pimpinan al-jama’ah al-Islamiyyah Mesir, Syeikh Mir Hamzah sekretaris The Jama’at-e Ulema-e Pakistan, Fazlur Rahman pimpinan Gerakan Jihad Banglades, Pimpinan gerakan Islam Kashmir dan juga seorang komandan dari Pakistan.

Histirisitas fatwa ini bertepatan dengan berkumpulnya beberapa pimpinan gerakan Islam, khususnya Jama’ah al-Jihad Mesir di afghanistan. Berduyun-duyun pula datang utusan-utusan dari Pakistan dan Kashmir untuk bertemu Usamah. Salah seorang pimpinan jemaah tersebut berhasil menyakinkan Usamah bahwa pengertian perang melawan Amerika perlu diperluas dengan memeranginya di semua tempat. Keyakinan itu semakin meluas, dari sebelumnya hanya merupakan peperangan melawan Amerika, menjadi pembunuhan kepada setiap orang Amerika yang sudah mencapai usia pernag, di mana pun dan kapan pun, begitu pula orang-orang Yahudi. Logika Syar’inya adalah bahwa Amerika menduduki negeri Haramain, karena itu setiap orang Amerika dianggap sebagai pendukung bagi pendudukan di Jazirah Arab. Dan karena Amerika memerangi umat Islam di setiap tempat dan waktu, serta menumpahkan darah rakyat sipil yang Muslim, maka membunuh orang Amerika dan Yahudi dibenarkan oleh syariat, kapan dan di mana saja.

Alasan politis adalah bahwa Amerika merupakan musuh pertama Islam dan selalu mencari saat yang tepat untuk mengirim bencana kepada umat Islam, sementara tidak ada kekuatan yang menghalanginya, karena itu merupakan kewajiban umat Islam untuk memusuhi Amerika. Keyakinan ini membuahkan aksi yaitu memulai ditanda-tanganinya sebuah kesepakatan konfrontatif bersama yang bernama ”al-Jabhah al-Islamiyyah al-Alamiyyah li Jihad al-Yahud wa al-Salibiyyin” atau Front Islam Internasional pada Februari 1998 yang menyerukan pembunuhan orang-orang Yahudi, Salibis dan Amerika di mana saja dan kapan saja. Komunike ini dibagikan dan dipublikasikan oleh media massa.

Setelah saya melakukan perburuan dokumentasi yang diluncurkan oleh Usamah bin Ladin tersebut, meski sangat melelahkan, akhirnya menemukan edisi asli dari ” fatwa” yang membuat bulu kuduk rakyat Amerika berdiri ketakutan. Selembar kertas ”al-Quds al-Arabi” Volume 9-Issue 2732 yang terbit hari Senin 23 Februari 1998 bertepatan dengan 26 Syawal 1418 H telah sampai ketangan saya dan disitulah terpampang edisi original lengkap dihalaman 3 (tiga) sudut kiri bagian bawah dengan judul ”Nass Bayan al-Jabhah al-Islamiyyah al-Alamiyyah li Jihad al-Yahud wa As-Salibiyyin”.

Fatwa ini initinya adalah bagi seluruh umat Islam hukumannya fardlu ain untuk memerangi dan membunuh orang-orang Amerika dan sekutu-sekutunya baik sipil maupun militer di mana pun dan kapan pun, disamping juga merampas kekayaan mereka di mana pun berada.

Untuk memperkuat keyakinan teologisnya (Killing Americans) tersebut, Front ini memanipulasi pendapat-pendapat Ulama seperti Ibnu Qudamah penyusun kitab al-Mugni, al-Kisai penyusun kitab Bada’i al-Sana’i, al-Qurbuti penyusun tafsir al-Jami li Ahkam al-Quran dan juga Syeikhul Islam Taqiyuddin Ahmad Ibnu Taimiyah (seorang ulama yang merupakan referensi wajib para ulama Saudi) penyusun al-Ikhtiyarat.

Pembunuhan yang diarahkan untuk menghabisi rakyat Amerika dan sekutunya serta infidel state (negeri kafir) menurut fatwa dehumanisasi ini berlaku hingga Amerika dan sekutunya melepaskan cengkramannya terhadap Masjid Al-Aqsa dan Masjid Al-Haram Makkah Al-Mukarramah. Pertanyaan substantif yang perlu dihadapkan kepada fatwa Usamah tersebut adalah apa benar Amerika melakukan pencaplokan terhadap Masjid Al-Aqsa, Masjid Al-Haram dan juga Masjid An-Nabawi Madinah Al-Munawwarah? Karena alasan inilah yang dipergunakan oleh Al-Qa’idahnya Usamah untuk membakar semangat jihad umat Islam karena dua tempat sucinya (Al-Haraman) telah dikangkangi oleh "infidel states” Amerika dan sekutunya.

Fatwa profokatif yang dimunculkan oleh al-Jabhah al-Islamiyyah tersebut berusaha membawa konflik ”Arabist anti Americanist” ke dalam lorong keagamaan dengan mengarang cerita bahwa Amerika dan sekutunya telah mengangkangi tempat paling suci umat Islam yaitu Masjid al-Haram karena dengan dasar inilah yang dinilai paling sensitif.

Label teroris yang akhirnya ditempelkan kepada gerakan Al-a’idah dan cell-cellnya sebenarnya disebabkan juga oleh fatwa yang paling menggegerkan dunia yaitu adanya pernyataan ”Syann al-Gharah” (menebar huru-hara) dalam fatwa tersebut yang berarti sebuah aktivitas penebaran aksi teror dari semua penjuru untuk meluluh-lantahkan sebuah kekuatan. Dari kata ”Syann al-Garah” inilah akhirnya yang membuat dan mendorong Amerika untuk menerbitkan sebuah kebijakan ”Strategy For Combating Terrorism”.

Jihad dan G-WOT Untuk Kemanusiaan

Diskusi dua jam antara saya dengan seorang intelektual cerdas, penulis prolific dan moderat Dr. Gamal al-Banna, penulis buku ”al-Islam Din wa Ummah wa laisa Dinan wa Daulatan” (Islam adalah agama dan bangsa bukan agama dan negara) sangatlah urgen untuk direnungkan dalam menutup tulisan panjang ini. Pertemuan saya di Kairo dengan adik bungsu Hasan Al-Banna (Mursyid ’Am pertama al-Ikhwan al-Muslimun) ini berlangsung di apartemennya yang sederhana yang dipenuhi dengan buku-buku yang berserakan. Dalam sebuah obrolannya, beliau banyak memberikan penjelasan mengenai mapping gerakan radikalisme Islam yang terlalu mempolitisir teks-teks suci keagamaan (Tasyis al-Nusus al-Muqaddasah). Ditengah diskusi hangatnya di kediaman beliau, Gamak Banna yang selalu bersama sayaketika menyempatkan datang ke forum ICIS (International Conference for Islamic Scholars) Jakarta tahun 2006 meski usianya sudah 80 tahun juga memunculkan sebuah teori baru dan sekaligus harapan indah.

Harapan kita, semoga Jihad dan G-WOT (Global on Terrorism) akan membawa kehidupan bagi nilai-nilai kemanusiaan dan bukan membawa pemberangusan terhadap hak hidup manusia. Jihad da G-WOT bukan untuk mengalirkan darah sebagaimana mitos ”jenglot” mumi mini yang mempunyai hobi menghisap darah segar.

Apresiasi terakhir saya terhadap karya Dreyfuss yang juga seorang jurnalis ahli investigasi ini adalah jika komunitas Islam Fundamentalis sangat mengenal dan hafal sebuah buku saku tentang petunjuk suci penebar kekerasan karya Abdussalam Faraj yang berjudul al-Faridlah al-Gha’ibah (The Neglected Duty), kewajiban Jihad yang terabaikan), maka buku Devil’s Game ini layak menyandang titel ”al-Syawahid al-Gha’ibah” bukti-bukti sejarah yang terlupakan. Untold History perselingkuhan ini telah dilupakan oleh para pengusung jargon ”al-Jihad huwa al-hall” Jihad adalah solusi dan sengaja dilupakan oleh the Oil Hunter Amerika yang mengusung jargon ”G-WOT (baca Jee what, mirip dengan pengucapan kata Jihad, Global War on Terrorism) is solution. Buku Devil’s Game hadir di Indonesia buka untuk dilupakan, tetapi untuk menyingkap tabir gelap perselingkuhan politik dan juga ekonomi antara Amerika dan Islam Fundamentalis selama 60 tahun. Dari penyingkapan tabir ini, diharapkan terwujudnya penghargaan terhadap nilai-nilai humanisme dan penebaran kedamaian di kalangan komunitas bumi.

Penulis adalah Staf Pengajar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

sumber : gusmus.net

1 komentar:

bagi komentar, saran dan kritiknya kawan.... (no spam)