Selasa, 31 Mei 2011

Erupsi Literasi di Kaki Merapi

1 comment


erupsi merapi yang baru saja terjadi beberapa bulan yang lalu masih terasa dampaknya hingga kini. bukan hanya materi vulkanik saat letusan seperti abu dan batu yang masih tersisa tapi juga hantaran lahar dingin yang tak kunjung berhenti hingga kini. matrial-matrial vulkanik masih bisa dilihat dan di saksikan di jogja bahkan hampir di setiap sudut kaki gunung merapi.namun erupsi merapi yang terjadi beberapa waktu lalu sebenarnya sudah di dahului oleh sebuah erupsi dahsyat dari akar rumput, erupsi ini bernama erupsi literasi. sebuah letusan kesadaran masyarakat lapisan bawah yang sadar bahwa pendidikan, kemampuan baca-tulis dalam hal ini adalah modal utama kemajuan individu yang pana pada masa depan menjadi kemajuan sebuah komunitas baik itu lokal maupun nasional.

letupan-letupan kecil di setiap sudut di wilayah kaki merapi sangat terasa, tak besar memang namun konsisten dan terus-menerus sehingga suatu saat nanti kawasan kaki merapi terutama yogyakarta yang terkenal dengan kota pendidikan bisa menjadi rujukan utama sistem pendidikan. hal ini tentu didasari pada keprihatinan akan kurangnya pendidikan pada anak-anak. hilangnya budaya membaca menjadi budaya menonton sungguh sangat kontradiktif, anak-anak yang hampir setiap hari dipaksa untuk menjadi penonton yang diam dan berjingkrak hingga lupa akan proses pembelajaran pada dirinya. dan tanpa disadari membuat anak-anak menjadi terbengkalai pendidikan.

hal-hal sederhana semacam inilah yang sepertinya melecut para pemuda-pemuda di kawasan yogyakarta untuk bergerak bagi lingkungannya, dari ruang sempit hingga lembar demi lembar buku untuk mengenalkan budaya literasi pada anak-anak di “pelosok” yang tidak tersentuh kue manis pendidikan yang berbudget 2triliun rupiah di negeri ini. gerakan-gerakan itu terlihat dengan nyata di sudut-sudut yogyakarta. dimana keinginan untuk membantu sesama sangatlah tinggi, erupsi tidak hanya terjadi pada merapi yang memuntahkan matrial vulkanik tapi juga terjadi di hati orang-orang hebat di tanah jogja, erpsi yang diletupkan berupa erupsi literasi, seperti perpustakaan-perpustakaan desa hingga berlanjut menjadi sanggar belajar.

jika bertanya, kenapa harus literasi? jawabannya adalah buku dan tulisan adalah jawaban dari setiap persoalan, tempat dimana kembali belajar dan mencari kemudian menuliskannya kembali untuk berbagi dan memberi. ini filosofi sederhana dari lierasi yang banyak di galakan teman-teman di kawasan kaki merapi, yogyakarta. sanggar-sanggar belajar berupa perpustakaan lokal ini mampu menghadirkan secercah harapan bagi masa depan yang lebih baik. lihat saja, contohnya ada “sekolah mbrosot” sebuah perpustakaan dan sanggar belajar di kawasan kulonprogo, ada juga “kolam bebek” sebuah sanggar belajar dengan tempat unik sepertu rumah eskimo, ada juga “rumah bambu” yang termasuk di dalam kota di pinggiran sungai winongo yogyakarta, hingga “studio biru” di kawasan perbukitan prambanan.

“Books are the plane, and the train, and the road. They are the destination, and the journey. They are home. kata Anna Quindlen dalam bukunya berjudul “How Reading Changed My Life” bagaimana Anna mengungkapkan bahwa buku adalah alat transportasi sekaligus tujuan dimana berlabuh. bukulah yang membuat kita mengerti banyak hal, untuk itulah pemberdayaan literasi secara swadaya menjadi letupan yeng terus bergejolak di tanah sang sultan. merapi boleh erupsi namun ada erupsi lebih besar di kaki merapi yaitu erupsi literasi. erupsi yang akan memunculkan orang-orang tanggu penjaga peradaban, dengan membaca maka akan menulis.

saya mungkin bisa sependapat dengan Jose Luis Borges yang bermimpi bahwa surga seperti perpustakaan, saya terima atau tidak bahwa jika kita masuk perpustakaan rasanya sulit untuk keluar, kenyamanan serasa berada dalam sebuah ruang penuh harta-karun dan buku seperti cinta mengaduk-aduk emosi manusia. untuk mengaduk emosi perlu menulis dan untuk menjadi penulis harus membaca. dan semuanya tidak harus selalu berasal dari ruang mewah bernama sekolah tapi bisa muncul dari ruang-ruang berdinding bambu namun penuh ke-ikhlas-an dalam berbuat.

sebagai kawasan kaki merapi jogja memang istimewa, tak salah bukan karena daerahnya tapi yang lebih penting karena orang-orangnya, banyak julukan untuk kota ini, dari kota budaya hingga kota pendidikan. saat demonstaru UU keistimewaan tidak ada anrkisme, orang-orang kreatif jogja justru melakukan kirab budaya di sepanjang kraton hingga malioboro, begitu juga di dunia musik seperti jogja hiphop fundation hingga acapela mataraman berkreasi, di dunia maya sindiran-sindiran keras berupa paspor berlambang kraton menohok dengan keras. tak perlu kekerasan tapi hanya butuh sedikit sentuhan kreatifitas.

begitu juga dengan erupsi literasi yang terjadi di jogjakarta, protes akan mahalnya pendidikan dan susahnya akses, bukan dilawan deng kekerasan tapi dengan berbuat yang nyata dari diri dan lingkungan sendiri. protes atas mahalnya dan susahnya akses pendidikan dilawan dengan membuat tempat-tempat belajar gratis dengan modal “hati” itulah mengapa sudut-sudut literasi sederhana di jogja berkembang pesat, bahkan selain yang disebutkan tadi di atas, ada juga “rumah pelangi” di sudut kaki merapi yang lain.

budaya lisan dan tulisan

Budaya literasi (baca-tulis) merupakan hal yang sangat penting untuk dipunyai manusia guna memajukan peradaban hidupnya. Mengakarnya budaya literasi akan membuat masyarakat terbiasa berpikir kritis dan melakukan telaah ulang atas segala hal yang ada di sekitarnya. sehingga dapat mencegah anrkisme berkelanjutan. Kenyataan itu memaparkan bahwa masyarakat kita masih belum terbiasa dengan budaya baca. Budaya lisan yang telah mengakar kuat belum bisa digantikan oleh budaya baca. Malah, kini ada budaya lisan baru bersifat audio visual, yang ditampilkan oleh televisi, yang nyatanya lebih disukai dibanding budaya mengolah informsai dari sumber bacaan tertulis. Ignas Kleden menyebutnya sebagai budaya kelisanan sekunder.

kita tak perlu menyalahkan siapapun atas “kebodohan kultural” ini, yang harus dilakukan sekarang adlah bergandengan tangan untuk memperbaikinya dai sudut terkecil yang bisa kita lakukan, itulah yang banyak di lakukan oleh para pemuda di kaki merapi. Walter Ong adalah salah satu yang membongkar kelemahan tradisi lisan dalam karyanya yang fenomenal, Literacy and Orality. Setiap peradaban tentu saja mewariskan pengetahuan dan kebijaksanaan. Kita tak perlu meragukan pengetahuan masyarakat Baduy yang tak melek huruf dalam melestarikan lingkungan. Kepakaran, yang dalam tradisi lisan diperoleh dengan mendengar, magang, mengingat simbol dan ilmu dalam bentuk syair, tetap tidak bisa disebut proses pembelajaran kognitif, karena tradisi lisan tak mengenal proses abstraksi, mengklasifikasi, dan menjelaskan fenomena secara deduktif. Karenanya menurut Ong, menulis tak hanya melestarikan jejak sebuah peradaban, tetapi juga upaya untuk menyempurnakan potensi kemanusiaan.

Kiranya tak berlebihan seandainya Catherine Prendergast menyebutkan bahwa literasi adalah properti, atau milik kelas tertentu. Dalam bukunya Literacy and Racial Justice, Prendergast menunjukkan bahwa dalam sejarah literasi selalu menjadi alat bagi bangsa-bangsa kolonial untuk mengukuhkan hegemoninya. Literasi tak hanya menjadi hak milik mereka yang dulu tak bisa diakses oleh bangsa yang terjajah, namun juga sesuatu yang kini dibagi-bagikan dengan kemasan ‘kesetaraan, kemajuan, dan modernitas.’ Sepertinya, negara-negara maju tengah mendistribusikan sesuatu milik mereka agar negara berkembang tumbuh bersama-sama. Padahal, yang tercipta adalah suatu bentuk ketergantungan baru. Kita akan terus-menerus mengejar sesuatu itu seperti menggapai fatamorgana, hingga entah kapan. Mungkin sudah saatnya kita bertanya, benarkah literasi menawarkan wacana pembebasan? (sofie dewayani: 2010)

erupsi hati yang meletup perlahan dari jiwa-jiwa pemuda di kaki merapi terutama sekitar yogyakarta dan sekitarnya menunjukan bahwa Literasi bukanlah sebuah entitas yang netral. Literasi juga bukan sekadar kemampuan baca-tulis. Literasi seharusnya dipahami sebagai proses interaksi antara diri, teks, dan konteks.pemahaman akan diri dan lingkungan kultural. pemahama yang tidak hanya mengantarkan pada kemajuan indovidu tapi pada masanya nanti pada kesejahteraan suatu komunitas hingga bangsa.

1 komentar:

  1. jadi pengen ke merapi.. hehe.. mantab bro tulisannya, cuma fontnya donk jangan kecil semua, agak ramah pembacalah =)

    BalasHapus

bagi komentar, saran dan kritiknya kawan.... (no spam)