Selasa, 07 Februari 2012

tangis yang pecah di kala sunyi

4 comments

kakek (peci putih) dan nenek (jilbab coklat) dengan beberapa cucu-cucu kecilnya

fajar shidiq belum terbit tapi itu adalah kala detik-detik akhir dimana malam akan tergelincir, lirih terdengar suara telpon berdering diantara kantuk yang merayap mata. ibu, samar terlihat nama didinding layar. terisak, itulah suara ibu yang terdengar dari ujung telpon, nada yang terdengar paru saat mengabarkan bahwa kakek meninggal dunia. keget, haru, antara percaya dan tidak, bercampur aduk. ini waktu malam menjelang subuh, sunyi sekali seoalh suara ibu yang lirih terdengar menggema dan di seluruh kamar dan berdengung di setiap sudut kepala. kabar duku yang datang tiba-tiba

jam 1 malam saya sempat mengirim sms pada ibu, bahwa sayang mau pulang. entah kenapa memang kondisi akhir-akhir ini banyak menimbulkan hal-hal yang kurang enak dan serasa tidak nyaman. dimulai sejak mimpi gigi graham lepas 2 minggu lalu, yang menurut orang-orang berarti akan kehilangan seseorang yang dekat dengan kita. disusul berturut kunci motor dan kran air yang patah tanpa sebab, gelas yang pecah atau hingga foto keluarga yang terjatuh. saat foto keluarga terjatuh dan saya katakan ada firasat buruk, seorang kawan berujar "masih percaya hal2 kaya gitu shim?" akhirnya percaya tidak percaya, firasat memang selalu hadir di hulu tapi terkadang kita menyadarinya di hilir. saya juga sempat pamit tanpa alasan pada teman-teman untuk tidak hadir pada sebuah acara yang-mungkin-penting, tanpa alasan yang tak bisa saya uraikan. saya seperti yakin bahwa saya tidak hadir dalam beberapa situasi yang sudah direncanakan di jogja, tanpa tahu alasannya.

beberapa waktu lalu saat berkumpul dengan beberapa kawan untuk sekedar membicarakan kegiatan. saya memilih berdiam sendiri untuk membaca salah satu karya leo tolstoy. cerpen berjudul "kebahagiaan keluarga" yang sangat panjang bercerita tentang kehidupan seorang anak dan juga keluarga setelah sang ayah meninggal, cerpen tersebut menggambarkan bagaimana perjuangan seorang anak setelah ayah mereka meninggal. tak lama setelah menyelesaikan cerita tersebut, kematian menjadi barang candaan penuh tawa di lesehan. tak panjang tapi cukup untuk berkelakar. tapi kini saya sadari kematian tidaklah lucu dan pantas untuk ditertawakan saat kita benar-benar pada situasi kehilangan.

mendengar suara ibu yang terisak di ujung telpon nun jauh terpisah dalam bentang jarak ratusan kilometer seperti membawa terbang memori ke masa lampau. kakek buat saya adalah seorang teman, ayah, juga guru. beliaulah yang mematri sendi-sendi agama, mengajarkan bagaimana membaca Al Quran hingga sholat, diskusi dari hukum waris hingga zakat bahkan berbagi tentang aqidah dan tauhid. maka saat saya meninggalkan sholat atau lupa mengaji, sekarang terasa tak hanya menyepelekan diri sebagai seorang hamba Tuhan tapi juga seperti mengkhianati kakek. tapi buat ibu kakek jauh lebih dari itu, tahun-tahun terakhir kakek sakit ibu selalu ada disamping beliau.

tahun-tahun terakhir ini saat kondisi kakek menurun ibu hampir tak lepas dari samping kakek. ibu selalu ijin dari kantor saat kakek keluar-masuk rumah sakit, ibu menempatkan ayahnya di podium utama di banding karir dan pekerjaan. terkadang ibu harus bolak-balik kerumah kakek di desa saat kondisis kakek memburuk, dan kami selalu mengerti bahkan bapak sangat faham akan hal itu. kondisi sakit kakek tak hanya membuat tubuhnya terlihat lebih ringkih dan kuruh tapi ingatannya mulai kabur, terkadang sangat sensitif mudah menangis dan tersinggung. benar kata orang saat tubuh menua terkadang seperti kembali ke masa anak-anak.

ibu merubah dirinya menjadi kaki dan tangan kakek, menjadi tangannya saat menyuapkan makanan, menjadi tangannya untuk menggaruk saat gatal datang menyapa, bahkan ibu menjadi tangan kakek ketika kakek harus membersihkan badan. ibu menjadi kakinya untuk berjalan dan melangkah, saat kakek bosan duduk dan berbaring, bahkan hingga akhir hayatnya kini tak sekalipun kakek menggunakan tongkat untuk membatunya berjalan, selalu ada anak-anak hingga cucunya yang memapah beliau.

Seperti dulu ketika masih kecil, beliau mengajari bagaimana menggerakkan tangan dan berjalan, tahun-tahun terakhir ini sepertinya kini giliran ibu mengajari beliau hal yang sama. Jika dulu anak kecil yang manja minta diselimuti menjelang tidur, kini giliran menyelimuti beliau. Dulu beliau mengurus keseharian dengan tabah dan ikhlas, kali ini mesti melakukan hal yang sama: memapahnya ke kamar mandi, melayaninya jika ingin makan, minum obat dan bersedia melakukan banyak hal lain untuknya. Jika dulu ia terjaga semalaman menjaga anaknya, kali ini  juga mesti melakukannya, kalau-kalau beliau butuh sesuatu atau minta diantar ke kamar mandi.

kini ibu tak bisa melakukan itu lagi pada kakek, suatu saat nanti saya harap bisa merawat kedua orang tua saya ketika sakit, mungkin tak sebaik saat ibu merawat saya di waktu kecil atau kakek di masa tua-nya. terbayang perjuangan, tulus doa dan cinta kasih yang tek pernah letih. saya tak melihat lagi penyesalan, duka mendalam dan keterkejutan, yang hadir kini harapan serta doa serta keikhlasan.

perlu waktu yang tak sedikit untuk menyadari bahwa batas antara mati dan hidup beitu tipis, begitu sederhana namun sangat sulit unutk dicerna. sangat aneh rasanya merasakan situasi yang berbeda, orang-orang yang biasanya ada dan berbincang bersama kemudian pergi untuk selamanya, sebuah perpisahan yang terkadang tak pernah dirasakan pertandanya dan tanpa ucapan kata-kata.batas antara mati dan hidup hanyalah sedetakan jantung saja namun begitu rumit untuk difahami. Andai saja kita semua punya cukup waktu dalam hidup untuk memahami kematian.

tak perlu menggambarkan tentang tetesan darah korban dan penderitaan perang untuk menumpahkan kesedihanku. Tak perlu juga bercerita tentang bencana yang menelan ribuan korban jiwa untuk membuatku menangis. tak perlu mengabarkan tentang berjuta luka kemiskinan, penindasan serta ketidakadilan untuk memaksa aku mengeluarkan air mata. Cukup, cukup saja kau paksa aku diam lebih lama di hadapan seorang kakek tua yang terbaring terbungkus kafan ini, sungguh tak sedikit pun punya kuasa bagiku bisa menahan air mata ini

siang ini aku pulang sendirian dari jogja, kutatap langit membiru di hiasi awan putih bergumpal, mengingat kembali, canda tawa yang mungkin tak kan kembali tiba, kini aku tersenyum ikhlas melepasnya dengan mata yang berkaca-kaca ... dan terus berdoa supaya Allah memberikan tempat terbaik disisNya.....

4 komentar:

  1. Assalamualaikum wbt.

    Yang ternyata baru itu pasti tidak kekal abadi. Al Fatihah untuk kakek kamu semoga ditempatkan di kalangan mereka yang dikasihi Allah SWT.

    BalasHapus
  2. turut berduka cita semoga amal ibadahnya diterima dan dirinya ditempatkan di tempat yg lebih baik yaitu disisiNYA amin

    BalasHapus

bagi komentar, saran dan kritiknya kawan.... (no spam)