Sabtu, 18 Februari 2012

Orang Islam Kampungan

Leave a Comment

sejak pertama kali menginjakan kaki di jogja ada banyak hal yang membuat saya terkaget-kaget, ntah sindrom apa ini namanya, tapi yang pasti banyak hal di joja yeng membuat saya mengerutkan dahi. diantaranya, mengapa untuk bermain bola saja saya harus menyewa lapangan kecil dengan waktu yang dibatasi, padahal di kampung, main bola dilapangan desa sampai pekarangan rumah seharian tidak pernah dapat masalah. atua kenapa ketika masuk ruangan saya begitu kedinginan dan ketika keluar kemudian kepanasan. dan semua “keanehan” ini juga terjadi dalam kehidupan beragama.

dalam kehidupan beragama ternyata saya harus sadar, bahwa saya sedang dibenturkan dalam aneka keilmuan yang tak pernah saya pelajari. saya merasa menjadi “amatir agama” ditengah diskusi keilmuan dan berbagai istilah yang sangat kompleks. semakin lama saya hampir tidak mengerti bagaimana islam memiliki pakaian kebesaran. tentu saja dalam hal ini adalah Islam.

entah kenapa di jogja, masjid terasa begitu sepi. hanya ada suara adzan dan iqomah. selain itu tidak ada suara lagi. orang sholat berjamaah terus pulang. saya mencoba untuk faham bahwa orang-orang kota cendrung sibuk dan tidak sempat duduk lama untuk ber-wirid. atau bersholawat mengisi waktu menuju sholat. banyak hal dalam masjid yang jauh dari kehidupan kampung, tidak ada lagi cengkrama sosial dan diskusi kecil di masjid. masjid terasa amat sangat sepi.

begitu juga dengan imam saat sholat, imam di kota sering menggunakan suat-surat panjang dengan ayat-ayat yang panjang pula. beda dengan orang kampung seperti saya, yang bisanya hanya surat-surat pendek. langganannya ya surat-surat pendek, macam An-nas, At-takasur, Al-ikhlas, lebih jelasnya, saya lebih suka surat-surat di juz ama. bukan hanya karena pendek dan mudah di ingat, tapi juga karena maknanya lebih muah di fahami, seperti surat Al-ikhlas, yang berbicaa tentang ke-esa-an Tuhan. atau Al-kafirun yang bebicara dengan jelas bagaimana menyikapi sebuah pebedaan dalam beragama. saya yang amatir dan orang kampung hanya belajar ngaji di surau ini kalah jauh dari “muslim kota” atau penyeru jihad, yang lebih suka ayat-ayat panjang guna memantapkan legitimai “alim” yang tahu benar sudut-sudut kitab suci.

jujur ketika saya belajar mengaji di surau kampung saya tidak pernah menemukan kata-kata seperti liberal atau pluralisme hingga khilafah atau berbagai macam dagangan agama yang diperdebatkan oleh mereka yang berintelektual dalam agama. belum lagi jual beli fatwa oleh mereka yang mengaku ulama yag tergabung dalam sebuah majelis.

dan saya sadar satu hal, bahwa jadi orang kampungan termasuk dalam beragama itu ternyata membawa ketenangan, tidak pusing dengan problema dan perdebatan berkepanjangan tentang istilah-istilah yang -mungkin saja- tidak mereka ketahui maknanya. menjadi orang islam kampungan sangatlah membahagiakan. kalau ada yang meledek atau mendebat ibadah saya, saya tinggal bilang, “saya kan orang islam kampungan.”

—————————————-
tulisan ini hanya sedikit keterkejutan saya dengan kehidupan kota jogja, dan tidak sama sekali bermaksud mendeskriditkan atau mengkotak-kotakan kota atau desa.

0 komentar:

Posting Komentar

bagi komentar, saran dan kritiknya kawan.... (no spam)