Kamis, 19 Mei 2011

Menjadi Indonesia Dengan Sederhana

4 comments

ada satu ungkapan unik tentang negara yang diungkapkan oleh Orson Weles, seorang pengiat seni dari panggung perfilman Amerika, berbeda dari ungkapan kebanyakan yang sering kita dengar yaitu “jangan tanyakan apa yang sudah kau dapatkan dari negara tapi apa yang sudah kau lakukan kepada negara”, Orson Weles justru membuat sebuah kutipan unik yaitu “Ask not what you can do for your country. Ask what’s for lunch” jangan tanyakan apa yang dapat kau berikan untuk negara, tanyakan dengan apa anda makan siang” begitu kira-kira terjemahan bebasnya. kutipan unik ini tiba-tiba terngiang dalam telinga saya setelah sore tadi saya bertegur sap seperlunya dengan seorang loper koran di per-empat-an depan gramedia kotabaru yogyakarta.

tak banyak yang saya bicarakan dengan loper koran tersebut, tapi ada satu hal yang saya ingat dan berhubungan dengan kata-kata Orson, yaitu saat saya bertanya, “piye, laris ya…” kemudian dia jawab“wah, ng’go mangan wae esih kurang mas”. saya yakin loper koran ini tidak pernah berfikir negara atau nasionalisme hingga demokrasi libralisasi, buatnya yang penting jualan korannya bisa cukup untuk makan siang. tak peduli sumbangan terhadap negara yang penting pembeli korannya bayar dengan uang pas. begitula kira-kira wajah orang-orang Indonesia. saya katakan orang-orang Indonesia. bukan bangsa Indonesia.

itu karena saya agak sependapat dengan apa yang pernah di ungkapkan Pramodya bahwa tidak ada namanya bangsa Indonesia, yang ada adalah kumpulan bangsa-bangsa dari bangsa melayu,batak, minang, dayak, jawa, sunda, bugis, maluku, hingga papua dan ratusan suku-suku lan di kepulauan nusantara. yang saling bersatu membentuk sebuah Negara Kesatuan bernama Republik Indonesia. negara besar dimana setiap kepulauannya dihubungkan dengan lautan bukan dipisahkan karena suatu saat nanti saya percaya bahwa laut yang membentang bukanlah pemisah tapi sebuah penghubung, Indonesia Negeri kepulauan yang diikat oleh lautan.

kembali kisah saya di perempatan jalan bersama loper koran tadi, sambil memberi kembalian uang saya, penjaja koran itu nyeletuk ”mas, kok koran ga ono sing boso jowo yo… padahal kan neng jogja…”belum sempet saya pertanyaannya karena lampu sudah hijau, dan sekilas saja saya ambil kembalian saya tadi walau belum sempat saya jawab pertanyaannya tadi. sampai rumah terkenang-kenang saya dengan pertanyaan loper koran tadi. namun saya melihat lebih jauh, kenapa Indonesia pake bahasa Indonesia yang dekat dengan Melayu bukan Jawa, padahal komposisi warga penyusun Indonesia kebanykan Jawa. namun saya masih belum menemukan jawabannya, karena saya yakin dengung “Bahasa Indonesia adalah Bahasa Persatuan” seperti yang digema-kan dalam sumpah pemuda tahun 1928 tidak sekedar kebetulan.

berbicara tentang bahasa Indonesia tidak bisa lepas dari bahasa melayu dan ketika berbicara melayu tidak bisa lepar dari sebuh kerajaan bernama Riau dengan ibukota kerajaan Tanjungpinang, kerajaan yang wilayah-wilayahnya pecah menjadi beberapa negara lain diantaranya, malaysia, berunai, singapura dan tentunya Indonesia. dan traktat london -lah yang ditandatangani 17 mei 1824 memecah belah wilayah Riau-Lingga-Johor-Pahang menjadi terpecah belah atas dasar politik kolonial Belanda-Inggris. tapi saya sama seklai tidak akan membicarakan rumitnya sejarah perpecahan ini.

melayu yang terpecah belah ini menjadikan sebuah “perpecahan” bahasa dari rumpun kelompok bahasa melayu-polinesia ini dan ang di Indonesia terkenal dengan sebutan “melayu yang lebih luas”. bahasa melayu perlahan menjadi bahasa Indonesia yang tertera dalam UUD 1945 sebagai bahasa resmi. namun pada perkembangannya melayu sebagai bahasa mulai terpengaruh banyak hal, dimana malaysia mulai terkooptasi inggris-me dan di indonesia lebih dicampuri oleh bahasa daerah lain sehingga semakin kaya akan budaya lokal.

berbicara bahasa maka berbicara budaya, seorang pemikir kulit hitam bernama Frantz Fanon pernah menulis buku berjudul Black Skin, White Masks . penulis asal Martinique itu menyindir sikap orang-orang sebangsanya yang kehilangan akar budayanya, budaya dalam hal ini tidak sekedar tari dan musik tapi lebih jauh pada sikat, adat dan etis. lebih jauh Fanon memandang anak-anak kolonial perlahan menjadi corong kolonial itu sendiri maksudnya dalam bahasa sederhan bekas jajahan perlahan menjadi penjajah bagi bangsanya sendiri. simaklah sebuah novel trilogi yang meng-amiin-i buku dari Fanon tersebut, novel trilogi karya penulis nigeria bernama Chinua Achebe yaitu trilogi Faal Apart, No Longer at Ease, Arrow of God. menggambarkan kepala suku bernama Okonkow yang berusaha keras mempertahankan budaya dan adatnya harus menerima kenyataan bahwa anaknya sendiri diremukan dari marwahnya oleh orang-orang kulir putih. anak Okonkwo memeluk agama kulit putih, belajar ke luar negeri mendapat jabatan bagus dan akhirnya korupsi dan menjadi penjajah negerinya sendiri.

wajah-wajah itulah yang seperti tergambarkan pada orang-orang indonesia kita kini. wajah-wajah kebanyakan yang sudah mulai kehilangan anggah-ungguh serta etis budaya, mulai melupakan adat-istiadat suku bangsa, menjadi internasional namun mengikis habis budaya lokal, mengejar banyak hal namun menyingkirkan yang lainnya. hal-hal seperti itu tidak hanya terjadi pada saat-saat abad milenium kini saja dimana akses sudah sangat mudah, bahkan pada tahun 1960-70an kebudayaan mengalami pancaroba yang dahsyat, hingga sebuah gerakan-gerakan “nasionalisme” mulai muncul pada tahun 1970an, dari sastra, budaya, animasi hingga arsitektur. di sastra misalnya, selepas gebrakanPengakuan Pariyem yang kental budaya jawa dari Linus Suryadi hingga Upacara dari Korrie Layun Rampan yang kental budaya Kalimantan, kini mulai dariLaskar pelangi ala belitong hingga Negeri 5 Menara dari minang mulai merambah dunia sastra.

perlahan kebenaran dari pemikiran Franz Fanon mulai terabaca Di Indonesia tapi di saat yang sama keyakinan saya bahwa masih banyak sebagian Masyarakat Indonesia yang tetap memegang teguh akar budayanya dan yang sadar akan budayanya juga semakin banyak. dunia ini rimba siapa yang akan bertahan, masih misteri. namun Indonesia tetaplah Indonesia, bangsa yang terbentuk dari ratusan suku bangsa, diikat oleh Bahasa Persatuan bahasa Indonesia, bahasa yang tak hanya sebatas bahasa resmi tapi juga sebuah jembatan komunikasi antar suku yang berbeda makna kata.

diawal saya menulis agak setuju dengan kata-kata Pramodya tentang bangsa indonesia, artinya ada sebagian yang tidak saya setujui. saat Pramodya mengatakan tidak ada bangsa Indonesia, maka saya bisa katakan bangsa Indonesia itu ada, yaitu Bangsa yang terdiri dari ratusan rumpun suku bangsa. inilah hal yang paling Indonesia dan tidak akan ada dinegara manapun, sebuah negara yang terdiri dari ratusan juta manusia, yang terbagi dalam ratusan rumpun suku adat dan tersebar di ribuan pulau, diikat oleh bahasa, dihubungkan oleh lautan menjadikan negeri ini penuh dengan anugrah Tuhan. mari cintai dan menjadi manusia-manusia Indonesia yang sederhana, tak perlu ikut larut dalam segala pertentangan dan perseteruan elit penguasa, nukamtilah menjadi rakyat menjadi manusia Indonesia, tanpa kekerasa dalam persatuan penuh senyuman.

4 komentar:

  1. itu benar. jadi semua kemegahan sekarang terasa absurd, palsu, dan terbungkus embel-embel" nasionalisme kepada "bangsa" indonesia yang sejak dulu tak ada itu.

    apik ki tulisanmu, boy.

    BalasHapus
  2. Saya selalu tersenyum untuk negara ini...

    BalasHapus
  3. mulai dari yg kecil untuk merubah ssuatu yg besar... jangan sampe melakukan hal besar namun hnya merubah sbagian kecil saja.

    BalasHapus
  4. mengatakan...
    Tapi setidaknya kita bisa prihatin, yakan pak EsbeyEE?

    BalasHapus

bagi komentar, saran dan kritiknya kawan.... (no spam)