Selasa, 21 Desember 2010

Satu Hari di Kala Hujan Menyapa

Leave a Comment

entah sudah berapa lama saya mencoba lepas dari layar monitor baik itu PC maupun laptop, tak pernah saya hitung, pertama-tama terasa agak aneh kemudian ketika semakin lama saya mulai terbiasa. saya hanya mencoba menjauh dari teknologi, entah karena alasan apa saya melakukannya, tapi yang pasti mata saya semakin terbiasa. melepas diri dari gegap gempita kota jogja yang minggu-minggu terakhir ini di datangi hujan bahkan terkadang ditemani sambaran petir dahsyat. menjauh gari hingar-bingar sepakbola indonesia yang tengah menggelora, bahkan detak e-mail maupun notif tak terdengar lagi. tapi di lain itu saya merasa bersalah kepada kawan-kawan yang kemarin berbagi senyum dengan teman-teman kecil di perbukitan prambanan. bahkan HP saya pun sudah tak lagi berdering, hanya getar menyapa saat oprator memberi kabar tentang promosi layanan. ada satu-dua pesan masuk namun tak sempat saya balas karena pulsa saya sisakan 93 rupiah saja.

diawali dari sebuah ketidaksengajaan dan saya coba bertahan dari lingkup yang selama ini saya diami. apa rasanya, biasa saja tak berasa apapun. namun pagi ini saya mencoba keluar untuk sekedar menghirup udara segar dari satu sudut yang tak pernah saya hirup.  mencoba kembali menemukan sesuatu, entah apa sesuatu itu sesuatu yang sedang saya cari tapi di sisi lain saya tak tahu apa yang sebenarnya sedang saya cari. perjalanan tak berujung itu terhenti tatkala saya mendengar sayup-sayup kumandang adzan dari suatu sudut yang tak saya tahu. tak lama perjalanan saya terhenti ketika mata melihat sebuah menara kecil di sebuah sudut gang. tak salah lagi itu menara mushola, sejenak saya mencoba beristirahat, berwudhu, membasuh muka, dan kemudian sholat dzuhur disitu, sebuah daerah yang asing buat saya, namun anehnya saya tak merasa asing kala masuk dalam masjid dan sholat berjamaah.

sumber pengambilan gambar: kintarous.com
tak lama setelah sholat tiba-tiba grimis kecil menyapa dengan riang, saat tetesan air berdenting di atas genting. urung niat saya untuk beranjak pergi. sambil menanti hujan tiba-tiba saya di sapa seorang kakek-kakek yang tadi sholat bersama. sikakek tadi menyapa dengan lembut, terbaca dari suaranya yang samar, bahwa beliau sudah mulai renta. dialog terbuka dan basa-basi sederhana di mulai, dari nama hingga asal-usul keluarga dan hubungan dengan jogja, dari keistimewaan hingga sepakbola. tapi ada sesuatu hal menarik saat beliau bertanya kepada saya “apakah saya mengerti agama”. pertanyaan itu seperti sebuah petir yang menyambar di tengah hening grimis yang menyapa. kakek itu berbicara setengah protes namun dalam kesedihan penuh harap, tentang islam alias “mengerti islam”. beliau berbicara siapa yang sebenarnya mengerti islam, mereka yang NU atau Muhammadiyah, mereka yang sunni atau syiah, mereka yang berteriak bid’ah atau sunnah. bahkan beliau setengah protes saat harus berhari raya dengan hari berbeda. sebuah protes besar, kenapa harus berbeda dalam wadah yang sama.

lama sekali kakek itu bicara hingga ashar kembali datang walau langit tak kunjung tenang. sudah lewat ashar huujan mereda, langkah kaki saya lanjutkan dengan sebuah perpisahan berat dengan kakek yang tak saya tahu namanya itu. motor honda astrea legenda yang biasa saya tunggangi itu, kembai saya pacu di tengah basah aspal sisa hujan tadi. kembali melihat wajah-wajah basah, ada penjual es krim bermerek yang didorong, ada penjual susu, hingga penjual pecel. bahkan tukang parkir telah kembali ke jalan. jalanan masih berkabut dan terasa sendu, ah jogja terasa berbeda di luar lingkar kota dimana saya biasa berkelana. melihat senyum wajah-wajah ramah yang mulai jarang saya temui hingga seorang buta yang tengah berjalan dalam gelapnya. berburu waktu dengan sepeda ontel dengan penunggang yang penuh peluh keringat berpaut tetesan hujan. damai dan tenang, jogja sederhana yang akan selalu saya rindukan.

tapi tiba-tiba saya tersadar saat sekumpulan anak kecil berselempang sarung dan berpeci berjalan riang dalam satu arah, ah iya, senja mulai muncul dan teman-teman kecil itu pasti menuju mushola untuk memuja Tuhan-nya. tak ingin lagi terperangkan hujan, saya mencoba memacu kendaraan saya lebih kencang untuk pulang, tapi ternyata hujan  semakin deras, akhirnya keputusan diambil. saya berteduh sejenak di pinggi bangunan kecil tak bertuan dengan di dampingi rindang pohon. tak lama adzan kembali berkumandang, ini saatnya maghrib dan berbuka puasa, puasa sunah di hari senin. saya batalkan puasa saya dengan tetesan air hujan. alhamdulillah tak lama berselang bapak-bapak penjual mie ayam lewat, lumayan semangkuk 4000 rupiah cukup untuk mengganjal perut sampai nanti di rumah. kembali di tengah hujan ditemani pedas dan hangat mie ayam sambil bercengkrama dengan sang penjual saya menemukan banyak “pengakuan” hebat dari orang-orang yang Tuhan takdirkan bersapa tegur dengan saya dalam sebuah periode waktu yang menjadi rahasia Tuhan.

waktu maghrib yang singkat memaksa saya menembus hujan mencari tempat bersujud untuk bersyukur atas semua nikmat hari ini. sebuah tempat kecil dengan bantuan cucuran hujan saya basuh muka dalam niat berbudlu dan sebuah takbir siri saya ucapkan sebagai awal ibadah. kini saya bersujud seorang diri di tempat yang seharusnya saya terbiasa dengannya. semoga Tuhan mendengar doa saya kali ini. hujan mulai reda kembali saat waktu isya telah datang. 

kembali motor saya pacu, masuk kota kembali menyusuri jalan kecil di samping selokan, saya kenal betul jalan ini, sehingga tak ragu mampir ke greenz, tempat dimana saya biasa berbagi tawa dengan kawan-kawan yang sudah agak lama belum lagi saya sapa. ah saya rindu mereka. ternyata saya tak sia-sia, sekejap setelah saya duduk mas tosse datang menyapa, sebuah jabatan erat yang lama tak saya rasa. hangat penuh keakraban, ditengah hujan deras yang kembali datang menyapa. mendengar cerita mas tosse tentang perjalanannya ke studio biru dan rencana untuk berbagi tawa di akhir desember mengiringi pembicaraan kami, tentang canting dan studio biru di temani teh hangat yang tersaji.

hari semakin malam dan cuaca semakin dingin di jogja, gerimis telah reda, saatnya saya pulang untuk sholat isya kemudian tidur, sebuah syukur tak terhingga untuk yang kuasa atas hari ini yang luar biasa. saya rindu tawa di bangku kayu ini. di akhir hari ini saya punya jawaban atas pertanyaan seorang kakek yang saya temua siang tadi di mushola ujung gang, beliau bertanya apa cita-cita saya, dan saat itu saya tak bisa menjawabnya dengan kata, hanya saya jawab dengan segaris senyum. tapi di ujung malam ini saya punya jawabannnya, cita-cita saya adalah semua cita-cita kawan-kawan saya terwujud.

0 komentar:

Posting Komentar

bagi komentar, saran dan kritiknya kawan.... (no spam)