Rabu, 29 Desember 2010

Dedramatisasi Laskar Pelangi

Leave a Comment

apakah ada adalah orang yang sudah khatam Laskar Pelangi atau anda bahkan orang yang sudah menamatkan tetralogi tersebut hingga novel terakhirnya yaitu Maryamah Karpov atau anda bahkan lebih dari itu, yaitu seorang pemuja Andrea Hirata dan bahkan menamatkan Padhang Rembulan atau lebih manik dari itu hingga membaca semua Novel, tulisan dan semua hal yang berhubungan dengan pemuda asli belitong tersebut. jawabannya bisa iya bisa tidak, tapi saya yakin banyak di antara kita pernah mendengar Laskar Pelangi, minimal tahu jalan cerita tersebut secara garis besar dan bisa jadi diantara itu sudah banyak pula yang membaca Laskar Pelangi berulang-ulang.

Novel ini menjadi box office indonesia di awal abad 21 bersamaan dengan Ayat Ayat Cinta karangan Habiburahman El Syrazi. Laskar Pelangi berhasil menyihir banyak pambaca tidak hanya di kalangan pecinta sastra tapi juga berhasil menempatkan kisahnya berjejeran dengan Harry Potter di rak-rak buku anak muda dan remaja di Indonesia. kemampuan Andrea mengolah LP dengan bahasa khas penuh ilmu pengetahuan dengan mem-fiksi-kan otobiografisnya menjadi nilai sendiri untuk buku yang berhasil naik cetak 20 kali ini.  novel ini memang layak untuk dibaca bukan dimana sang penulis berhasil membuat narasi yang tepat, indah, berisi, dan cerdas.

bahkan Sunaryo Basuki Ks menempatkan Andrea bersama Ayu Utami dan E.S Ito sebagai harapan karena kemampuan mereka bertiga melepaskan diri dari persoalan pribadi dan masuk dalam kisah yang disampaikan untuk menyatakan sikap hidupnya.  anda mungkin sering mendengar Andra maupun Ayu tapi mungkin sebagian dari kita tidak terlalu familiar dengan Ito, penulis yang oleh Fadjroel Rachman disebut sebagai Pramodya Ananta Toer muda karena keliahainnya menulis dalam novel Rahasia Meede. disaat Rahasia Meede ditempatkan bersamaan dengan Bilangan Fu dalam jajaran nominasi KLA, Andrea Hirata justru tengah sumringah karena LP laris di pasaran bak kacang goreng.

membaca tulisan Damhuri Muhammad berjudul “Dari Gontor ke Trafalgar Square” (jawa pos 2009), dimana di awal tulisannya Damhuri menyindir seorang pejabat pemrov sumbar karena pejabat tersebut mengatakan bahwa tidak ada penulis dari ranah minang membuat “karya besar” seperti laskar pelangi dimana dalam karyanya berhasil memperkenalkan geografis dan demografis dalam rangkaian tulisannya hingga daerahnya bisa jadi termasyuhr dengan begitu karya tersebut bisa digolongkan menjadi “karya besar”.  lebih lanjut Damhuri membalikan pernyataan tersebut dengan penekanan yang jauh lebih filosofis dan bermakna, yaitu jika sebuah karya itu hanya diibaratkan sebagai “iklan” daerah maka apa bedanya sebuh novel dengan brosur-brosur dan bukjlet-buklet yang diiklankan oleh pemda baupun biro wisata.
kini novel-novel yang di anggap “karya besar” justru banyak dinilai diluar bahasan sastra itu sendiri sehingga unsur-unsur estetik dan artistik sering terabaikan lantaran pengalaman pembaca hanya sampai pada pencapaian pesan-pesan etik dan didaktik. lanjut Damhuri inilah yang menyebabkan sejumlah kegamangan muncul disebabkan pendekatan non-artistik pada kreatifitas literal. dimana kita akhirnya menilai novel dari apakah novel itu “memotivasi” atau “tidak-memotivasi” sehingga menjadi pertanyaan apakah bedanya novel dengan buku motivasi dan di tingkat lanjut mungkin kita tidak bisa membedakan antara Andra Hirata dan Mario Teguh.

diluar itu dalam tahap selanjutnya muncul hal-hal unik yang saya lihat dari jajaran novel dalam rak-rak di toko-toko buku, di sadari atau tidak endrosment yang muncul di belakang buku tidak lagi dari kalangan sastrawan atau kritikus sastra tapi bisa dari artis, sutradara, tokoh politik, karyawati hingga ibu rumah tangga, bahakn tak sedikit dari media. bahkan jika anda lebih jeli di sampul-sampul novel ada hal unik yang terjadi tahun-tahun belakangan ini, ada yang menulis “novel pembangun jiwa”, “novel spiritual”, “novel remaja”, “novel motivasi”, “novel islami”, “novel dari kisah nyata”, atau bahkan ada yang menarik pembaca dengan didepannya di tulis “untuk dewasa”, untuk 17 tahun keatas” dan macam-macam.

mungkin saya adalah satu dari ribuan atau bahkan jutaan yang larut dalam kisah Laskar Pelangi, hingga kekaguman saya pada kisah dalam novel itu dan kisah Andra sendiri yang berhasil jadi mahasiswa Sobrone walau anak seorang penggali timah di tanah belitong. menjadikan saya berada dalam posisi sulit terhadap novel ini, sehingga saya tidak lagi menjadikannya dalam bentuk sebuah apresiasi tapi sudah menjadikannya dramatisasi terhadap Laskar Pelangi.

membaca kembali hubungan Andra sebagai anak blitong dengan kemelaratan masyarakat walau di saat yang sama PT Timah berhasil mengeruk kekayaan yang amat sangat dahsyat dan di kemudian hari ditinggalkan hingga menyisakan puing-puing sisa kebangkutan. bisa jadi “kebencian” anak blioitong terhadap negara dalam hal ini karena adanya pemisahan sekolah dengan anak-anak karyawan belitong menjadikan kisah tersendiri dalam Laskar Pelangi, walau saya percaya bahwa “kebencian” tidaklah berlanjut menjadi “dendam”.

kisah penuh intrik, kesedihan, dan semangat tak pantang menyerah pada laskar pelangi inilah yang membuat saya berjumpa dengan banyak pemuja Laskar Pelangi lainnya, akibat keprihatinan dan rasa simpati pada tokoh-tokoh dalam kisah maupun semangat yang tumbuh pada perjuangan diri seorang pengarang itu sendiri. kekaguman pada laskar pelangi terkadang di dasari kebencian terhadap korporasi dan perusahaan besar yang mengeruk kekayaan suatu daerah. atau bahkan bisa jadi kecintaan pada Laskar Pelangi dikarenakan nilai islami dalam novel tersebut salah satunya sekolah Muhammadiyah itu sendiri. hingga penilaian tidak lagi di dasari pada nilai sastranya sehingga Kerancuan yang lebih menyangkut masalah psikologi itu, sudah menerjang ke bidang kritik sastra. Akibatnya, tolok ukur yang dipakai untuk menilai karya sastra pun kabur.

menurut saya realisme dalam novel otobiografis Andrea Hirata berjudul Laskar Pelangi itu adalah kekuatan novel itu sendiri, dimana kisah yang dituliskannya adalah kisah yang dialami, didengar maupun dirasakan dalam sebuh garis besar yang jelas. justru dengan inilah saya yakin bahwa karya pemuda belitong ini tidaklah besar, karena penulisnya pemuda “pedalaman” yang berhasil kuliah di Sobrone, bukan juga karena bukunya laris manis kemudian menjadikannya punya nilai lebih. tapi lebih karena karya Andra Hirata memang hebat. namun, tidak ada kehebatan yang tidak boleh diragukan, kecuali kehebatan Tuhan. dan Andrea adalah manusia biasa, setiap karya sepatutnya di apresiasi, dan apresiasi tidak selalu dalam bentuk pujian dan sanjungan. karena terkadang kritik, celaan, bahkan hingga hujatan adalah bentuk apresisasi disisi lain karena sebuah karya besar dan hebat akan tetap luar biasa. bahkan semakin banyak dan beragam bentuk apresiasi itu karya tersebut bisa semakin bersinar. sehingga saya berpendapat dramatisasi yang muncul dari Laskar Pelangi pada “kehidupan nyata” tidaklah perlu terjadi sehingga saya tidak terikat pada kekaguman berlebih yang mengekang diri saya dari sikap kritis terhadap suatu karya, bukan hanya karya Andera tapi juga yang lainnya.

yogyakarta, 29 desember 2010… siang hari saat matahari bersembunyi, dan malu menampakan diri di bumi.

0 komentar:

Posting Komentar

bagi komentar, saran dan kritiknya kawan.... (no spam)