sunyi dan sedikit mistis, itulah perasaan pertama yang saya rasakan ketika melewati jembatan kecil yang menjadi gerbang masuk pertama ke makam Sultan Agung di Imgori yang sangat terkenal. Berada sekitar 20 kilometer di sisi selatan kota Yogyakarta, bukit Imogiri benar-benar menyimpan misteri setelah dijadikan makam raja-raja Mataram.
Berbeda dengan bukit-bukit lainnya di bagian selatan Yogyakarta yang kebanyakan sudah gundul, maka karena kesakralan makam itu, pepohonan di Imogiri tumbuh subur. Ada pohon jati yang berusia 300 tahun lebih, ada pula pohon beringin, kepel, pala, bambu, dan pepohonan lain yang tumbuh tak terusik tangan manusia. Kicau burung, angin semilir yang sejuk, merupakan hasil keseimbangan ekosistem yang terjaga lantaran kesakralan itu. senyum ramah terurai dari seorang setengah baya yang bertugas sebagai penjaga parkir. hembusan angin sore menyeruak dari celah-celah daun di sekeliling makam. sebuah sambutan alam yang cukuup untuk membuat pengunjung lebih berhati-hati.
belum cukup sampai disitu, karena untuk menuju kompleks makam utama pengunjung harus menempuh anak tangga yang cukup panjang. saya secara pribadi membaginya dalam 3 jenis tangga utama. pertama, tangga awal yang cukup landai tapi panjang tidak terlalu curam tapi cukup panjang dan melelahkan, di sebelah kiri berupa hutan dan ada beberapa makam warga, sedangkan di sebelah kanannya berupa perumahan warga yang beberapa diantaranya berupa ruko. setelah melalui tangga tahap pertama ini pengunjung akan sampai pada pemberhentian pertama di sebuah Masjid dan joglo kecil yang cukup untuk melepas lelah. Masjid itu merupakan masjid tradisional yang di bangun kira-kira pada masa Sultan Agung .
secara umum bangunanya masih asli hanya pada bagian serambinya saja yang mengalami perubahan yaitu pada bagian lantainya. Masjidnya beratap sirap , tetapi kini bagian atasnya dilapisi seng. sehingga atap, sirap hanya bisa dilihat dart dalam masjid saja. Unsur kekunoan lain pada masjid ini adalah pawestren dan kolam di halaman depan . Pada serambi masjid terdapat tubuh (Bedeng), besar dengan diameter 99 cm, panjang 146 cm. Menurut juru kunci makam tabuh ini di buat semasa dengan masjid. Unsur asli yang lain adalah saka guru dari kayu jati yang di sangga umpak persegi dari batu kali. Mihrap berupa relung pada dinding barat, dan mimbar berhias ukir-ukiran diantaranya ada yang manyerupai kala.
tak dinyana dan tak di duga, ternyata kedatangan saya kesana berbarengan dengan adanya pengambilan gambar acara Si Bolang TransTV. lumayan untuk melepas lelah sambil melihat tingkah polah anak-anak lugu di depan kamera. ternyata makam mistis ini menjadi daya tarik tersendiri untuk setting sebuah tayangan televisi.
kembali ke makam Sultan Agung dan Raja-raja jawa, terutama Mataram dan semua keturunannya. Kompleks ini berada di Ginirejo Imogiri. Makam ini didirikan oleh Sultan Agung antara tahun 1632 - 1640M merupakan bangunan milik Mataram dan di jaga oleh dua pendopo dari Yogyakarta yang berada di sebelah kiri dan Surakarta di sebelah kanan gerbang utama makam. tapi sebelum kesana persiapkan fisik dulu untuk mendaki tangga dengan panjang lebih dari 200m dengan kemiringan 45°. jumlah tangganya 4009 anak tangga dengan pembagian masing-masing yang juga memiliki filosofi.
sebelum masuk kompleks utama makam, pengunjung harus melewati gerbang utama yang berbentuk gapura seperti candi-candi hindu. menurut cerita dari seorang penjaga makam di pendopo penjagaan Yogyakarta yang merupakan abdi dalem kraton bernama mbah Jamidi atau Ngabei Sidohandono (nama yang di dapat dari kraton), dan buku sejarah. berbentuk gapura bentar yaitu gapura yang berbentuk seperti candi terbelah, tanpa atap dan tanpa daun pintu. ukuran panjang 220 cm. lebar 150 cm, dan terbuat dan batu bata . Pada bagian kaki terdapat hiasan giometris. Di sebelah menyebelah kori supit urang ada dua padhasan, dengan lapik berhias tumpal.
tepat di depan gerbang uatma di jaga oleh 6 gentong air. atau yang di kenal dengan nama padasan. 2 buah terdapat di luar gerbang supit urang dan 4 buah terdapat dihalaman Kamandhungan dan biasanya disebut enceh atau Kong. Dua buah enceh yang berada di timur tangga regol Sri Manganti 1 dinamai Kyai Mendhung dan Nyai Siyem. Kedua enceh ini merupakan persembahan dari raja Ngerum (Turki) dan Siyem (Thailand). Sedang yang berada, di sebelah barat tangga bernama Kyai Danumaya dan Nyai Danumurti, berasal dari Aceh dan Palembang.
Yang menarik adalah, Makam Imogiri - juga disebut Pajimatan Imogiri - terbagi menjadi tiga bagian. Jika kita datang menghadap ke makam itu, maka pada bagian tengah adalah makam Sultan Agung dan Susuhunan Paku Buwono I. Lalu di sebelah kanan berderet bangunan makam para sultan Kraton Yogyakarta, mulai dari Sultan Hamengku Buwono I, II, III yang disebut Kasuwargan. Disusul di sebelah kanan makam Sultan Hamengku Buwono IV,V, dan VI yang dinamakan Besiaran. Dan paling akhir di sisi paling kanan adalah makam Sultan HB VII, VIII, dan IX yang disebut Saptorenggo.
Pada sisi kiri berturut-turut adalah makam para sunan dari Kraton Surakarta, mulai dari Susuhunan Paku Buwono III (abang Sultan HB I) hingga Susuhunan Paku Buwono XI. Khusus makam Sultan Hamengku Buwono II, jenazahnya dimakamkan di Makam Senopaten di Kotagede, Yogyakarta, di dekat makam raja Mataram I, Panembahan Senopati yang ketika muda bernama Sutawijaya atau Panembahan Loring Pasar.
untuk masuk makam utama yaitu makam Sultan Agung harus melewati 3 gerbang lagi dan memakai pakaian khusus yang disediakan oleh pihak penjaga makam. selain itu juga terdapat banyak peraturan khusus dari mulai sikap hingga pakaian. selain itu setelah masuk kompleks gerbang pertama tidak boleh menggabil gambar atau foto.
jika ingin masuk ke dalam terutama makam raja-raja di perkenankan pada hari senin dan minggu pukul 10-13 WIB dan jum’at 13-16 WIB. pada waktu-waktu itu gerbang utama dibuka dan masyarakat umum boleh masuk dengan menyanggupi semua persyaratan yang diberlakuakan.
harap maklum karena masuk makam raja-raja di jawa berbeda dengan berziarah ke pemakaman biasa. dan perlu di ketahui ternyata tanah di bukit merak yang menjadi puncak itu berbau harum, boleh percaya atau tidak. dan satu lagi ternyata jumenengan atau yang telah menjabat sebagai Raja atau Sultan tidak berhak dan tidak boleh untuk menginjakan kaki di kompleks makam. menurut penjaga di situ, peraturan itu sudah menjadi UU tak tertulis yang tak boleh dilanggar.
nyambung dikit : ternyata, gaji penjaga makam di sana hanya Rp. 7050,-dan mereka melakukan profesi (saya menggap sebagai profesi bkn sekedar pekerjaan) itu dengan bahagia.
masuk ke makam itu tidak di tarik biaya atau tiket, hanya ada uang parkir. tapi di setiap muka tangga atau bangunan ada kotak amal yang sebaiknya di isi se-ikhlas-nya.
segitu dulu ya, kapan-kapan jalan-jalannya di lanjut lagi….
Saya jadi ingat waktu SD dulu sebelum pindah ke Medan kami sekeluarga jalan2 keliling Jawa naik mobil. Kita ke makam dimana gitu (lupa) lalu ada tkg sapunya, orgnya baik hati dan ramah. Ayah saya tanya berapa gajinya, katanya Rp.300 saja perbulan. Wow. Saya sedih dan iba dengarnya. Itu 25 thn lalu, & setahun kemudian saya pindah k Medan, teman2 di SD itu jajannya aja Rp.500/hr. Tp orang2 spt itu pasti dapat hidayah yang lebih meskipun materinya hanya segitu cukupnya.
BalasHapusTempat bersejarah, bagus dan bermakna
BalasHapuswadoh panjang bgt deh postingannnya,...
BalasHapusmalah belom pernah ke sana tuh... btw... ga ikutan nampang di si bolang, mas? lumayan bisa jadi figuran... bisa buat ongkos pulang kali hehe...
BalasHapustempat kayak gini nich yg patut dikunjungi.. makasih infonya mas, kapan2 klo aQ k tanah jawa, pasti Qinjakkan kakiQ ke t4 bersejarah lagi :D love it
BalasHapusyap, terkadang kita orang indonesia begitu terpana pada satu budaya yaitu budaya arab, mereka tidak menyadari dari zaman bahela kita orabg Indonesia banyak sekali memilki peradaban budaya terutama dari kerajaan2 di Nusantara, terutama salah satu tokoh yang saya sangan kagumi "Gadjah Mada".
BalasHapusWell, saya hanya mau berkata : kebudayaan arab bukan kebudayaan kita, sangat berbeda kenapa kita tdk berpaling ke dalam sendiri yap Nusantara Indonesia.. Bande Mataram...
makam raja di jawa sudah menjadi bagian dari elemen budaya ya, kawan?
BalasHapusRomansa Yogyakarta begitu terasa ketika saya membaca tlsan ini. Selamat sudah memang di PB Blogger 2010. salam dari Aceh.
BalasHapus