Kamis, 11 Maret 2010

Merangkai Misteri Supersemar

Leave a Comment

Cuaca di sekitar istana malam itu sangat dingin, hembusan angin dari rerindangan pohon dan jingkrakan kijang yang masih betah menikmati malam menambah khidmat suasana, tapi ketika malam mulai pekat datanglah empat Brigadier Jendral, yaitu M. Jusuf, Amirmachmud, Basuki Rahmat dan M. Panggabean mengetuk pintu istana. Suasana sunyi, dingin dan damai di istana bogor seketika berubah panas dan gaduh, adu todongan pistol antara para brigjen dengan pengawal Presiden tak terelakan, tapi suasana seketika reda ketika Soekrano memerintahkan Soekardjo menyarungkan senjata. Setelah suasana mereda, para jendral menyerahkan lembaran surat yang harus ditandatangani, di bawah tekanan akhirnya sang Presiden menandatangani surat tersebut. Dengan sedikit pesan setelah situasi pulih mandat segera di kembalikan, itulah sekelumit cerita Lettu Soekardjo Wilardjito, pengawal presiden.

Kisah yang digunakan untuk pembanding sejarah penandatangan supersemar versi pemerintah, walaupun pada akhrinya pernyataan Lettu Soekardjo tersebut di bantah oleh M. Jusuf, M. Panggabean, dan A.M Hanafi. Itu masih di tambah dengan kisah penandatanganan versi A.M Hanafi, mantan kedubes kuba yang dipecat secara abal-abal oleh Soeharto, versi sang mantan dubes memang tidak terlalu jauh dengan versi pemerintah yaitu secara baik-baik, tapi ada perbedaan waktu kalau versi pemerintah waktunya malam sekitar 20.30 WIB tapi justru menurut Hanafi siang hari.

Setidaknya sekelumit perbedaan kisah, kronologis, pelaku maupun waktu tak kalah misteriusnya dengan teks asli dari supersemar yang menurut Arsip Nasional memiliki 4 versi termasuk versi terbaru dari almarhum M. Jusuf yang di kemudian waktu juga di “cap” palsu oleh Arsip Nasional. Dari mulai kop surat, tandatangan Soekarno, Lambang Garuda, hingga posisi tata letak surat terdapat perbedaan yang Saling berlawanan, sehingga sulit untuk menentukan mana yang benar,atau mungkinkah ada versi selanjutnya yang belum terungkap seperti kata Soebandrio, bahwa ada draf pertama surat itu, draf kedua yang sudah ditulisi komentar Soebandrio beserta tembusan ketiga dari teks asli (yang tidak ditandatangani Presiden) yang semuanya dimiliki Jenderal Jusuf dapat diserahkan kepada pemerintah.

Beda Penafsiran Makna SUPERSEMAR

Untuk memperjelas duduk permasalahan dan arti serta makna, maksud dan tujuan Supersemar saya kutip pernyataan Soekarno saat pidato (videonya ada di youtube)
“Surat Perintah Sebelas Maret itu mula-mula dan memang sejurus waktu, membuat mereka bertampik sorak-sorai kesenangan. Dikiranya SP Sebelas Maret adalah satu penyerahan pemerintahan, dikiranya SP Sebelas Maret itu satu Transfer of Authentic, of Authority, padahal TIDAK. SP Sebelas Maret adalah suatu perintah pengaman, perintah pengamanan jalannya pemerintahan. Demikian kataku waktu melantik kabinet. Kecuali itu, juga perintah pengaman keselamatan pribadi Presiden, perintah pengaman wibawa Presiden, perintah pengamanan ajaran Presiden, perintah pengaman beberapa hal…”

Pernyataan yang mengandung banyak makna seperti apa itu Supersemar dan “ancaman” kepada pemegang kekuasaan Supersemar untuk tidak bersorak-sorai kesenangan. Bagi Presiden Soekarno, surat itu adalah perintah pengendalian keamanan, termasuk keamanan Presiden dan keluarganya. Namun, sebenarnya ia “kecolongan” dengan membubuhkan frase “mengambil segala tindakan yang dianggap perlu” dalam surat tersebut. Padahal, perintah dalam militer harus tegas batas-batasnya, termasuk waktu pelaksanaannya.

Menurut Bung Karno, surat itu bukanlah transfer of authority. Amir Machmud yang membawa surat itu dalam perjalanan dari Bogor ke Jakarta langsung berkesimpulan bahwa itu adalah pengalihan kekuasaan.

Dengan surat itu, Soeharto mengambil aksi beruntun pada Maret 1966, membubarkan PKI, menangkap 15 menteri pendukung Soekarno, memulangkan Tjakrabirawa (yang terdiri dari sekitar 4.000 anggota pasukan yang loyal kepada Presiden), dan mengontrol media massa di bawah Pusat Penerangan Angkatan Darat (Puspen AD). Tindakan Soeharto ini tidak lain mengakhiri dualisme kekuasaan yang telah terjadi pasca-Gerakan 30 September. (Asvi Warman Adam, 2009)

Melalui tulisan ini saya mencoba membuka kembali memori kita tentang catatan sejarah Indonesia yang pernah kita dapatkan dari buku SD. Lebih tepatnya saya ingin menggiring anda pada satu ‘perkamen’ bernama Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret). Kenapa? Karena dengan adanya Supersemar, situasi politik di Indonesia mengalami perubahan, kekuasaan Bung Karno meredup, dan kekuasaan Jenderal Suharto meningkat. Supersemar dianggap sebagai penyerahan dan perpindahan kekuasaan. Supersemar adalah monumen awal duduknya Jenderal Suharto di kursi kepresidenan, lalu menjadi seorang pemimpin dan penguasa yang cenderung Machiavelli minded -mungkin Pak Harto juga sudah membaca Il Principe yang legendaris itu.

Banyak catatan sejarah bangsa ini yang dibelokkan dan tidak lagi jujur, masyarakat sudah kadung menganggapnya sebagai suatu kebenaran, generasi pasca revolusi adalah generasi yang tumbuh tanpa landasan sejarah pasti. Generasi itu adalah generasi yang meraba-raba mencari kebenaran di tengah kegelapan dan centang-perenang sejarah bangsanya sendiri. Saat kaum nasionalis konservatif sudah mulai menghilang satu per satu, entah bangsa Indonesia akan jadi seperti apa. *sigh…

Sejarah ternyata kurang lebih adalah evolusi dan revolusi dari konsep-konsep, mitos-mitos. Sejarah mengubah yang sungguh menjadi tak sungguh, tangis menjadi tawa , tragedy menjadi komedi.

0 komentar:

Posting Komentar

bagi komentar, saran dan kritiknya kawan.... (no spam)