Film Negeri 5 Menara bisa saja disandingkan dengan Laskar Pelangi dan Semesta Mendukung, dalam visualisasi cerita Dengan mejadikan harapan, mimpi, kesederhanaan, dan persahabatan menjadi modal iklan menarik penonton. Tapi secara emosi Negeri 5 Menara lebih dekat dengan Laskar pelangi, setidaknya itu yang selalu digambarkan tak hanya oleh para kritikus film tapi juga semua orang yang menyaksikan film ini. keduanya seperti sauadara sepupu, ada ekspektasi yang kurang lebih sama dari para penonton di bioskop. Berangkat dari novel laris, kehidupan lokal indonesia, perjuangan, harapan, mimpi dan persahabatan menjadi senjata keduanya.
Membandingkan Negeri 5 Menara dan Laskar Pelangi memang bukan seperti membandingkan “Ronggeng Dukuh Paruk” 2011 dan “Darah dan Mahkota Ronggeng” 1983 diamana keduanya sama-sama berasal dari novel yang sama karya Ahmad Tohari. Mungkin Negeri 5 Menara dan Laskar pelangi adalah dua kisah, setting, penokohan hingga akhir cerita yang berbeda. Keduanya memiliki sebuah nilai yang sama persahabatan, keyakinan, dan harapan nilai yang mulai hilang ditelan zaman. Tapi keduanya memiliki sebuah garis pembeda yang sangat esensial, yaitu nilai kesuksesan. Jika laskar pelangi menjadikan individu sebagai sebuah nilai sukses, maka Negeri 5 menara menjadikan kebersamaan sebagai objek utama.
sumber gambar | madamafm.com |
Kesuksesan, Perjuangan dan Mantra
Pemandangan danau maninjau di Sumatra Barat menjadi gerbang pembuka sekaligus penanda dimana tokoh Alif (Gazza Zubizareta) berasal. Dimulai dengan pertentangan dan proses “pembuangan” Alif ke pesantren untuk memenuhi keinginan sang ibu nan jauh di pulau sebrang. Alif berada dalam dua pilihan sulit, mengikuti cita-cita dirinya untuk kuliah di ITB bersama kawan kecilnya Randai (Sakurata Ginting) atau menjalankan mandat kedua orangtuanya untuk masuk pondok pesantren. Alif akhirnyamengikuti keinginan ibu dan ayahnya untuk berangkat ke ponorogo untuk belajar di pondok pesantren gontor dengan keterpaksaan. Rasa berat dan terpaksa Alif perlahan luluh saat di pesantren bertemu dengan kawan-kawan baru yang kemudian menjadi sahabatnya yakni Baso (Billy Sandy) yang berasal dari Sulawesi Selatan, Said (Ernest Samudera) dari Surabaya, Atang (Rizki Ramdani) dari Bandung, Raja (Jiofani Lubis) dari Medan, dan Dulmajid (Aris Adnanda Putra) dari Madura. Hingga mereka menjadi sebuah geng bandel di Gontor, geng yang terkenal dengan sebutan sohibul menara.
Setelah itu cerita cendung berlangsung datar, tanpa konflik dan potongan-potongan plot yang saling meloncat. film ini seperti merengkuh dan mencoba menjadikan setiap tokoh punya cerita masing-masing. Alif dengan kisah cintanya bersama putri kiyai hingga pidato bahasa inggris Baso, bahkan urusan perbaikan genset oleh Atang. Film kemudian berlangsung tidak fokus pada satu cerita. Seperti serpihan-serpihan mozaik yang coba disatukan film ini susah untuk mencari kedalam cerita. Penonton cukup dibuat tertawa oleh tingkah para “gengster” sohibul menara kemudian tegang saat mereka tertangkap basah hingga kemudian mengguk mengikuti nasehat para guru.
Film ini memang film motivasi dan inspiratif mencoba menyajikan kesederhanaan cerita untuk supaya penonton mengambil hikmah. Ada beberapa plot dimana muncul konflik sebenarnya, namun terhenti disitu. Seperti saat Alif berkunjung kebandung menemui sahabat lamanya di ITB terbersit keinginan untuk brontak dan mengjar cita-cita namun pertentangan itu tak berlangsung lama hingga Alis kembali ke Gontor. Ada nilai bagaimana Negeri 5 Menara mengajarkan untuk membuat keputusan dalam keadaan terjepit. Tak hanya Alif saat terpaksa harus belajar di gontor dengan keterpaksaan, begitu juga saat Baso memutuskan untuk meninggalkan Gontor dengan berat hati kala neneknya sakit keras.
Manjadda wa Jadda, pekikan yang diteriakan ustad Salman (Dony Alamsyah) selepas mematahkan kayu dengan sebilah golok. Seperti menjadi teriakan kata Merdeka dalam film “Janur Kuning” selau terulang sebagai kata-kata penyemangat dalam perjuangan. Mantra arab yang berarti “siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil” menjadi azimat dalam setiap permasalahan, mengingatkan saya akan Allizwell dalam film india berjudul “3 idiot” yang dibintangi Amir Khan. Frasa ini membuat penyadaran publik bahwa untuk meraih kesuksesan kita membutuhkan perjuangan dan kala dalam perjuangan ada proses terjatuh kita terkadang membutuhkan mantra motivasi untuk kembali bangkit. Manjadda wa Jadda.
Film dengan plot yang meloncat-loncat dan irama yang datar serta tidak ada keterkaitan antar setiap cerita yang dihadirkan menjadikan film terasa agak aneh dan hambar. Bahkan sang ustad motivator yang menggebu-gebu tiba-tiba seperti harus lenyap begitu saja seperti tanpa jejak. Entah tokoh ini dimunculkan kemudian dilenyapkan begitu saja. Begitu juga dengan peran sang kiyai yang dimainkan oleh Ikang Fwazi. Menjadikan “sang preman” yang tiap hari menyanyi “ejakakulasi dini” di depan televisi sebagai seorang kiyai kharismatik adalah sebuah pertaruhan besar untuk Affandi Abdul Rahman sebagai sutradara. Tapi sepertinya pertaruhan ini cukup berhasil, ikang fawzi cukup kharismatik dengan wajah kusut dan serius terutama saat menasehati 6 anak bandel di sofa.
Terlepas dari plot yang saling terlepas, jalinan cerita yang dirangkai oleh Affandi lewat sekenario Salman Arsito sangat enak dinikmati. Ringan dan sederhana, mungkin nilai kesederhanaan ini yang coba diberikan, disinilah sisi lain yang saya lihat sebagai kekuatan. Kesederhanaan yang menggambarkan sikap manusiawi memang menjadi poin tersendiri di dalam film ini, persahabatan dan saling menguatkan cukup untuk membuat penonton terbawa suasana. Terkadang tertawa oleh tingkah nakal dan kemudian serius mendegar petuah.
Yang tidak boleh terlewatkan dari film ini sebenarnya adalah departemen akting dan lokasi. Dua kekuatan film Negeri 5 menara yang menjadi pondasi film ini. menjadikan orang-orang awam film, yang dimana sebelumnya tak saling mengenal kembali menjadi pertaruhan besar. Entah kenapa saya suka melihat para pemeran utama yang diperoleh dari sebuah roadshow audisi ini, keenamnya cukup total walau sepertinya agak kesulitan dalam pelafalan logat daerah untuk satu ini saya angkat dua jempol. Sepertinya ikatan pasa sohibul menara terbentuk begitu kuat seperti dalam adegan pulangnya baso ke tanah kelahiran, walau original score/ backsoundnya kurang dramatis namun akting para pemeran utamanya menutup celah itu sangat dramatis dan luar biasa.
Selain departemen akting yang patut diacungi dua jempol adalah lokasi, keputusan untuk pengambilan gambar di danau maninjau sumatra barat, masuk kedalam pondok pesantren gontor di ponorogo, bandung hingga london tentu adalah keputusan berani terutama unruk urusan dompet. Totalitas sepertinya yang membuat film ini dibuat sangat detail untuk urusan lokasi. Sayangnya pertemuan london agak dipaksakan, seperti penggambaran Kabah dalam film Emak Ingin Naik Haji cukup memberi nilai di ending cerita walau Negeri 5 Menara menjadikannya lebih sensaional. Mungkin ini dikarenakan dibatasi durasi.
Hal ketiga yang sangat elegan dari film ini adalah detail yang jarang terlihat di film indonesia. setting 80-an termasuk segala ornamen dan properti termasuk iklan, hingga logat-logat bahasa daerah termasuk aran dan inggris di gontor yang sangat diperhatikan. Yang jangan kita lewatkan adalah score dari trio Aghi Narottama-Bemby Gusti-Raymondo Gascaro dan themesong karya Yovie Widianto yang menjadikan film terasa lebih berwarna. Sekali lagi luar biasa.
Syahdan
Jika kita berfikir menonton Negeri 5 Menara hanya untuk menyaksikan bagaimana mantra Manjadda wa Jadda bisa menjadikan orang sukses maka kita salah besar. Affandi Abdul Rachman sebagai sutradara memberi lebih dari sekedar itu. Film ini menghadirkan bagaimana seseorang dihadapkan pada pilihan untuk meletakan kepentingan keluarga diatas individu. Itu terlihat dari Alif yang mematuhi orang tuanya dan baso yang pulang demi neneknya. Film ini menghadirkan mozaik dan metafora ke-Indonesia-an yang penuh pesona warna budaya. Menggambarkan islam dan pesantren yang moderat dan yang terbuka. Memberi gambaran guru yang tak sekedar mengajar tapi juga mendidik serta memotivasi. Dan yang utama adalah persahabatan saling melengkapi dan saling mendampingi.
Dari sisi teknis, diluar plot yang meloncat dan irama yang datar seperti tanpa konflik yang meletup. film ini sesungguhnya menghadirkan kesederhanaan dan konflik yang manusiawi. Potongan-potongan plot dirangkai menjadi mozaik yang memberi warna baru. Diluar itu sebenarnya penokohan, setting, lokasi hingga detail-detail yang dihadirkan adalah nilai tersendiri untuk film Negeri 5 Menara. Semua kekurangan seperti berhasil ditutupi oleh akting para pemain yang total dan natural. Kita seperti dibawa dari indah dan asrinya Danau Maninjau menuju glamornya Trafalgar Square di Inggris dengan melewati sebuah tempat yang dinamakan Pondok Pesantren.
Terakhir film Negeri 5 Menara tidak hanya menghadirkan mantra Manjadda wa Jadda, tapi juga dibuat dengan menggunakan mantra tersebut. Dibuat dengan begitu sungguh-sungguh, maka mari penuhi ruang bioskop, mari kita lihat setinggi apa menara yang mampi kita bangun. Karena kesuksesan butuh lebih dari sekedar harapan, tapi perjuangan bahkan terkadang sebuah mantra.
0 komentar:
Posting Komentar
bagi komentar, saran dan kritiknya kawan.... (no spam)