“Too bad that all the people who know how to run the country are busy driving taxicabs and cutting hair.” (George Brunes)
tulisan ini saya buat disela-sela ketidakjelasan cuaca jogja siang ini. tidak panas, tapi mendung, tidak hujan tapi agak cerah. mungkin lebih tepatnya teduh, penuh misteri. sebuah kutipan dari George Brunes di atas sebenarnya (dalam pemahaman saya) hanyalah sebuah ungkapan sindiran kepada para pemimpin bangsa maupun para wakil dari rakyat beserta para pejabat di sebuah negara. bahwa mereka yang mengerti negara lebih hobi bersafari dan bersolek.
perdebatan sok bersih, sok suci, dan merasa diri serta golongannya terbaik dengan beripjak pada kata rakyat sebenarnya sudah membuat saya muak dan ingin muntah. perdebatan itu sudah menghiasi hampir semua isi koran dan tiap menit pemberitaan televisi. semua itu intinya -menurut saya- hanyalah sebuah perebutan kekuasaan, dan siapa yang akhirnya berkuasa ia bisa menguasai segalanya. suka atau tidak hal itu adalah sebuah kenyataan yang kita hadapi termasuk di Indonesia.
sebenarnya kita tidak akan pernah pergi kemana-mana, meskipun kita melalui ribuan peperangan dan kemenangan, melibas pesaing, kemudian memenangkan pemilihan, setelah itu mempertahankan kekuasaan, naik menjulang di tangga popularitas, mendapatkan semua kemegahan, mengeruk gunung emas, menjadikan ribuan orang menjadi dayang dan budak, yang melayani makan, menyikatkan gigi, menyuapi makan, bahkan hingga menyeboki dubur. kita tidak akan pernah pergi kemanapun kecuali kembali kepada Sang Pemilik Hidup.
semua apa yang kita curi dari bangsa ini, dari tanah hingga truliunan rupiah untuk bersafari kemanapun di dunia ini pada hakekatnya akan dikembalikan kepada Sang Empunya Dunia.
tidak ada kekuasaan yang benar-benar diraih, tak ada kemenangan sejati yang benar-benar di dapatkan. seorang petarung yang menjatuhkan lawannya janganlah langsung berbangga diri, siapa tahu setelah satu jam berikutnya keadaan bisa berbalik. kemenangan pada sejatinya hanyalah berlaku sesaat, dan menginjak detik berikutnya kemenangan itu sudah tidak memiliki substansi.
Indonesia boleh menjadi Juara Dunia Demokrasi, memilih Presiden langsungdengan rekor jumlah pemilih dan rekor keamanan pemilu. tapi apa hasil dari puncak demokrasi itu ? mungkin kita harus bertanya pada hati nurani dan akal sehat kita, mungkin kita harus jujur supaya tidak terkontaminasi oleh jawaban dari luar.
dan salah satu impian saya adalah pada pemilu mendatang semoga Allah menjadi pencoblos pertama, dan semoga coblosan pertama itu adalah hidayah yang mengiring seluruh pemilih nusantara “yadhuluna fi dinillahi afwaja” berduyun-duyun memasuki cakrawala Allah.
anda boleh saja menganggap saya sedang bermain retorika.Tidak. ini sungguh-sungguh, dan saya harap jangan hanya mengandalkan ilmupengetahuan baku dari sekolahan dan Universitas, sebab mungkin saja penelitian di wilayah itu tidak akan menyentuh hati nurani.
sadar atau tidak, saat ini kita atau mungkin sebagian dari kita sedang menghabisakan waktu untuk bermain-main menunggu kematian, dan mainan kita namanya, negara, demokrasi, teroris, korupsi, clean governance, pengajian, tausiyah, band, komedi, sinteron, Infotainmenet, hukum. hingga piaraan baru seperti ubur-ubur, kucing, cicak, buaya, dan sepertinya kita mulai lupa dengan burung Garuda dengan 5 tonggak falsafah hidup bangsa ini yaitu Pancasila yang tengah mati (semoga hanya mati suri).
0 komentar:
Posting Komentar
bagi komentar, saran dan kritiknya kawan.... (no spam)