hari ini saya bertanya pada diri sendiri kapan terakhir kali saya menyanyikan lagu Indonesia Raya, atau mungkin kapan saya terakhir kali mendengar lagu itu dinyanyikan. adalah sebuah pertanyaan yang belum bisa saya jawab untuk tapi untuk pertanyaan kedua sayup-sayup ingatan datang, iya terakhir kali saya mendengar lagu Indonesia Raya ketika pagi tadi salah satu televisi swasta.
mungkin pertanyaan “kapan terakhir indonesia raya dinyanyikan ?” tidak terlalu dirisaukan oleh anak-anak sekolah dari SD hingga SMA. dulu waktu saya mengenyam pendidikan MI (Madrasah Ibtidaiyah) pendidikan setingkat SD, tepatnya kelas 5 hingga kelas 6 saya serig mendapat giliran memimpin upacara bendera hari senin, sebuah tugas yang menjadi kebanggan bagi siswa sekolah kampung ketika itu. dogma guru yang mengatakan bahwa menjadi petugas upacara adalah sebuah bentuk perjuangan dan pengabdian pada negara dan nilainya sama dengan perjoeangan Jendral Soedirman. menjadi petugas upacara -menurut guru saya ketika itu- adalah sebuah cara melanjutkan tongkat estafet perjuangan bangsa. sebagai anak SD dari kampung yang selalu nonton film G30S/PKI versi pak harto dan hobi nonton suguhan film perjuangan bangsa seperti : “Pangeran Dipenogoro”, “Cut Nyak Dien”, “Nagabonar”, “Pahlawan Dari Goa Selarong”, “Janur Kuning”. tentu heroisme masih sangat terasa.
selain menjadi pemimpin upacara saya juga sering didaulat membaca prembeule UUD 1945, saya masih ingat warna map-nya merah, itu dilakukan untuk membedakan dengan map berisi doa yang berwarna hijau dan map pancasila yang biasa dipegang ajudan pembina upacara berwarna kuning. map-map itu begitu sakral dan tidak boleh dibuka kecuali ketika upacara akan dilakukan dan map-map itu hanya keluar dari lemari kantor ketika hari senin, setelah itu dimasukan kembali ke lemari.
semua peristiwa sakral berupa “upacara bendera hari senin” selalu diawali dengan sebuah dering lonceng yang terbuat dari potongan batang besi dari mobil yang dipukul gagang martil. lonceng yang kini mungkin tidak akan pernah tergantung lagi di sekolah-sekolah “Rintisan Sekolah Berstandar Internasional”. masih teringat dengan jelas dalam bayangan hitam putih jejeran kawan-kawan yang berbaris rapih dalam dua saff baris, tidak banyak murid kampung yang berfikiran sekolah ketika saya lulus dari MI saat itu hanya berjumlah 8 orang, 6 pria dan 2 wanita. itulah wajah-wajah anak-anak kampung yang percaya bahwa sekolah adalah hal pertama yang harus dilakukan sebelum berlari kesawah membantu orang tuanya.
dalam setiap baris masih ada sepatu bolong tanpa kaus kaki, hingga mereka yang memakai sepatu kulit “nyeker men” alias tanpa alas, bahkan pakaian merah putih anak-anak yang sudah menginjak kelas 5 dan 6, sudah -sebenarnya- mulai tidak pantas, baju putihnya sudah mulai kusam kekuning-kuningan hingga bintik-bintik hitam bekas keringat, maklum saya pakaian putih itu tidak hanya untuk sekolah tapi juga untuk mengaji di masjid dan pergi kesawah. sedangkan celana merah sudah mulai kusam kehitam-hitaman, dan yang tadinya berada di bawah lutut (filosofi ketika membuat seragam SD kelas satu selalu di panjangkan supaya awet) dan ketika menginjak kelas 5 dan 6, sudah berada jaub di atas lutut.
tapi semua itu tidak pernah mengurang rasa cinta tanah air dan pancasila serta kebencian tanpa dasar pada kompeni dan PKI, serta betapa wajah berkaca-kaca melihat “bapak pembangunan” tampil di TVRI mengangkat padi. ketika upacara bendera selalu sangat khusyu seperti sholat, dan nyanyian Indonesia Raya selalu terasa menggema seperti wirid sehabis sholat maghrib. ketika Indonesia Raya berkumandang bersamaan tangan kanan diangkat menghormat sang saka merah putih yang dikerek oleh siswa perempuan yang tanpa alas kaki selalu terasa begitu bermakna. para petani yang akan berangkat kesawah selalu berhenti sejenak ikut bernyanyi dan memandang merah putih walaupun tidak ikut menghormat karena tangannya memegang cangkul dan parang.
setelah itu semua selesai sayalah pemilik tanggung jawab terbesar untuk mengucapkan dengan lantang “tegap grak” sebuah kata yang menurut saya -ketika itu- adalah sebuah pengkhianatan atas nama bangsa. karena menurunkan tangan dan menyuruh orang berhenti memberi hormat.
kini tahun demi tahun berlalu, radio dan televisi swasta hampir tidak pernah lagi mengumandangkan indonesia raya, kebanggana itu lama-lama mulai pudar dari wajah anak-anak bangsa. anak SD sekarang lebih hafal lagu-lagu alay daripada lagu-lagu kebangsaan. Indonesia Raya -mungkin- kini hanya retorika sarapan pagi di hari senin, dan mengangkat tangan untuk memberi hormat justru -dianggap- membuat pegal tangan.
sebagai manusia yang pernah menjadi anak-anak dan murid SD, saya terkadang rindu untuk mendengar pembawa acara bersenandung “Pengibaran sang saka merah putih diiringi lagu kebangsaan Indonesia Raya” dan kemudian rindu untuk berteriak,
“PADA SANG SAKA MERAH PUTIH HORMAAAAAT GRAK!”
serta sayup-sayup mengalun suara serak dan fals anak-anak kampung terpencil dengan khidmat menyanyikan lagu Indonesia Raya.
…………
…………
Hiduplah Indonesia Raya
0 komentar:
Posting Komentar
bagi komentar, saran dan kritiknya kawan.... (no spam)