Senin, 03 Januari 2011

Sketsa, Secuil Cerita di Pusat Kota

Leave a Comment

fajar menyingsing mendahului bangunnya mentari pagi. diluar masih berkabut dan tetesan embun menjalar di ujung-ujung kanopi daun yang tersisi di pinggiran jakal. sekelompok wanita renta dibantu suaminya mulai menempatkan diri di emperan ruko yang pintunya masih tertutup angkuh. matahari mulai terbit di ufuk timur, berkas cahaya lembayung menembus sela-sela dinding-dinding gedung membingkai jaring-jaring silau yang menembus kedip mata. rona warna merah oranye adalah pertanda betapa kotornya bumi jogja, karena partikel debu, partikel kecil, aerosol padat dan aerosol cari di atmosfir adalah hal yang paling bertanggungjawab membentuk rona indah yang menjadi pujaan banyak manusia.

sketsa pagi jakal, tak kan pernah lepas dari para penjual gudeg yang kian hari menantang keangkuhan dunia. para ibu-ibu perkasa dengan berani menghidupi keluarga dengan mempertahankan makanan tradisi yang tertelan ambisi penguasa. kini jakal tak ramah lagi untuk mereka, perlahan tapi pasti, jakal dikuasai konglemerasi manusia-manusia berduit yang tak punya hati. jakal yang dulu sederhana, penuh penjual pecel dan ketoprak, bubur ayam, gudeg, karedok, sate padang dan jenis-jenis makanan sederhana lain kian hari kian tertutup dinding angkuh makanan cepat saji.

pagi ini, saya bertemu seorang ibu penjual gudeg yang ramah di pinggiran jakal, dengan gagah berani dia berjualan di depan penjual makanan dari luar neger, eh maaf maksud saya penjual makanan cepat saji itu tak tahu diri berani berjualan di depan ibu-ibu penjual gudeg, karena ibu itu sudah bertahun-tahun berjualan disitu. dua bakul kecil didepannya adalah pangkal hidup keluarga si ibu yang raut wajahnya menyimpan berbagai rahasia problem dunia.

sapaanya ramah dengan senyum, “makan mas, sama apa….?”
“emmm, apa ya”
telor, tahu, ayam swir, ayam daging….” tambah ibu itu memberi pilihan
“sama telor aja bu… jangan terlalu pedas ya…” saya mencoba menjawab piihan yang diberikan
“nasi’y seberapa mas…”
“jangan terlalu banyak bu….dikit aja”
“minumnya apa?”
“teh anget, tapi jangan terlalu manis”
“monggo mas”

diskusi pagi dengan ibu penjual gudeg pagi ini memberi banyak hal diluar kata “kenyang”. mendengarkan diskusi ibu itu dan suaminya, memberi warna resah di pagi yang cerah. tentang problematika anaknya yang sekolah di SMA, dan bingung membeli buku. atau kisah yang dibicarakan tentang berjubelnya makann siap saji di serambi jalan yang tak terjangkau. hingga gosip keluarga yang dibicarakan. keresahan keluarga kecil penjaga tradisi yang kian terjepit sebuah nama yang disebut “moderenisasi”, saya terkadang berfikir, apakah moderenisasi kota harus disertai dengn menempatkan pzza hut, hoka-hoka bento, dunkine donats, cafe-cafe luar negeri, dan sebarek makanan dari negeri yang jauh di lur sana.

kabut mulai hilang tersapu ombak kendaraan yang semkin ramai berlalu lalang saat pagi menjelang siang. baru setengah piring nasi yang bersemedi dilmbung, turun seorang wanita muda yang mungkin saja masih anak SMA, disusul seorang kawannya beberapa detik kemudian dari pintu yang sama di baris kedua. penampilannya simpel dengan pakian seadanya walau terkesan mewah, wajahnya terlihat lelah walau senyumnya tetap merekah. sebuah HP tipis namun lebar digengam erat mereka bedua.

“bu gudegnya dua… dibungkus” ucap salah satu wanita berbaju merah muda
si ibu penjual gudeg mulai meracik gudeg yang diminta dengan mimik serius karena rasa adalah reputasi yang menjadi harta, sedangkan kedua anak tadi sibuk dengan dengan HP tipis nan lebar tadi, tanganya sibuk menari senyumnya lebar namun serius. sesekali matanya mengkerut, beberapa detik kemudian tebuka lebar. lain saat senyumnya berubah menjadi tawa kecil yang renyah. saya pikir mereka sedang berkomunikasi dengan kawan atau sodaranya yang jauh. tapi tak lama saya tersentak saat salah satu dari mereka mengangkat dagu dan menngok kawan disampingnya dan berkata kata yan tak pernah saya kira.

“eh lu ya, yang barusan ngirim….siala lu”
“hahhahahah….. iya, lu sih, ga bales-bales twit gw”
“hahahaa…. iya sori, sori lagi seru nih, ketemu gebetan baru”
iya deh, gw ngerti….”

yang membuat saya terkejut bukan “lu-gw” yang terucap di tanah jogja, tapi bagaimana anak SMA yang berkomunikasi dengan kawan disampingnya selama beberapa menit dengan HP (mungkin BB) itu ternyata dua manusia yang dikendalikan mesin. mereka kehilangan bahasa verbal dalam sopan santun. komunikasi mereka yang berdampingan ternyata dikendalikan dari sebuah gadget ditangan. saya semain tidak mengerti dengn misteri hidup yang dilalui. 

sebenarnya manusia itu maju atau mundur, sehingga komunikasi yang bisa dilakukan dengan sederhana sampai harus menggunakan alat mewah. ah entahlah… karena say masih berfiir positif bahwa cewek metropolitan ini masih mau makan gudeg…
tapi positive thinking hanya lah sebatas angan saat kedua wnita muda ini beranjak dari tempat meeka berdiri,

“ni mba gudegnya, dua 10.000″ ucap si ibu penjual gudeg
oia, “ sebatas itu katanya sambil memberikan uang dan mengambil bungkusan sangat singkat, seperti tak pernah diajarkan car berbicara.
“hey, emang pagi ini kita mau makan gudeg? “sergah kawan di sampingnya
“ga lah, ini buat orang tua gw, kita makan di hokben depan situ aja, kan deket tinggal nyebrang jalan”
————-
catatan kecil : JAKAL adalah singkatan dari Jalan KAliurang yang membentang dari kampus UGM hingga taman wisata kaliurang. dan kisah ini di Jakal sekitr KM 3-4.

0 komentar:

Posting Komentar

bagi komentar, saran dan kritiknya kawan.... (no spam)