Kamis, 30 September 2010

Ibu, dalam Duka dan Kata

Leave a Comment

ada kisah yang menarik tadi pagi, saat seorang anak kecil -mungkin- masih usia anak SD, ngamuk-ngamuk di sebuah kawasan pertokoan di jogja. ngamuk bukan sembarang ngamuk marah bukan sembarang marah, anak itu benar-benar dalam emosi tinggat tinggi dengan membentak orangtuanya gara-gara memilih baju. si anak dengan nada keras membentak orang ibunya dengan nada yang membuat saya bergetar.

mammaaaahhhh….. mamah ini bagaimana masa milih baju buat dedek yang ini, ade ga suak, ganti!!!” dengan nada kasar dan mata melotot si anak membentak ibunya, tidak sampai disana, si anak masih meneruskan eksistensinya “ade pengen yang merah, ga suka dengan ini, ganti” bahkan sandal yang dia paki dia tendangkan hingga terlempar, setelah itu si anak setengah merengek dengan nada perintah meminta ibunya mengambilkan sandal tadi. sedangkan si ibu dengan tersenyum menghadapi anaknya yang kurang ajar.

tak jauh lama setelah itu saya keluar dan menuju parkiran, frgmen yang hampir sama tersaji kira-kira anak seusia remaja dengan santainya memerintah dan membentak orang tuanya. mencap sang ibu dengan bermacam hal yang tidak sopan, sedangkan si ibu yang luga dan mungkin merasa kurang gaul tetap diam saja dan menurut sama anaknya. dan si anak merasa di atas angin memerintah ibunya seperti perintah pada jongos.

dua kisa yang tersaji di depan mata dalam satu hari ini seperti sebuah wajah yang tak bisa dihilangkan. perlahan si anak mulai nyaman dalam posisi bekuasa atas orang tua, dari mulai merengek, meminta, hingga berdiri dalam posisi berani memerintah hingga membentak dengan nada kasar. ada apa ini dan fenomena apa ini?.

sungguh akal sehat saya tidak bisa mengerti akan apa yang saya lihat apakah ini ada hunbungannya dengan film-film di layar kaca dimana tidak ada lagi penghormatan anak pada orang tua, inilah contoh yang dibuat media kemudian ditelan oleh anak maupun orang tua. penghormatan anak atas orang tua bukan semata-mata atas perintah agama penghormatan anak pada orang tua bukanlah hamba pada raja, penghormatan anak akan orang tua bukanlah penentangan atas faham egliterisme yang ada. tapi penghormatan anak atas orang tua adalah keharusan ke-tahudiri-an anak atas posisinya.

patuh pada orang tua bukanlah menghamba, tapi sopan dlam tindak-tanduk dan tata krama. ituah yang hilang, bukan soal perbedaan pendpat tapi bagaimana anak berposisi sebagai anak dan orang tua memposisikan diri dimana sebagai pengayom dan penyayang. entah bagaimana pemahaman  zaman sekarang, karena orang tua saya selalu bilang beda anak sekarang dengan dulu.

ibu saya pernah “protes” saat saya bertengkar dengan adik saya. beliau bilang “dulu ibu dua telor dibagi tujuh tidak pernah bertengkar dan selalu rukun, kenapa kini kalian yang dikasih satu butir telor masing-masing suka bertengkar“. mungkin saya adalah generasi dimana menatap mata orng tua adalah sebuah “dosa”. dilarang memotong saat orang tua bicara. sehingga saat itu saya berfikir apakah saya takut atau saya hormat. dan kini saya menemukan jawaban atas semua “kekerasan” orang tua atas didikannya.

hal inilah yang selalu membuat saya pulang saat lebaran tiba, keinginan dan kerinduan akan kasih sayang, bahwa saya tahu kemarahan itu adalah bentuk perhatian. penghormatan terhadap ibu bukanlah tuntutan ibu untuk di hormat tapi sebuah keharusan anak bukan untuk balas jasa, karena jasa itu tak mungkin di balas, tapi untuk sebuah ke-tahudiri-an seorang anak.

dulu wajah ibu begitu biasa tapi kini ketika waktu dan jarak memisahkan dalam segmentasi yang jauh dan lama, maka hal-hal kecil dari ibu menjadi bayang menyenangkan sekaligus mengerikan. bibirnya yang pucat tanpa pernah tersentuh lipstik itu menampakan dengan jelas sungai-sungai darah diantara kelupasan daging di bibirnya yang merekah. ibu adalah orang yang terakhir makan dan terakhir minum.

bagaimanapun juga ibu telah berjuang dengan mempertaruhkan nyawanya hanya untuk mengantarku menghirup udara dunia ini. ibu rela memutuskan 40 urat yang melintang dirahimnya hanya untuk mewujudkan hasrat segumpal daging menyaksikan indahnya sinar mentari. betapa inginnya aku menyentuh pipi ibuku dan menyeka air mata yang meleleh dari matanya yanga ayu itu. tapi aku tak berdaya sama sekali, aku hanya bisa terdiam, membisu dan sepi.

jikalau saja esok hari atau lusa, sinar mentari masi berkenan menyinari bumi dan sejuknya embun pagi singgah di antara rongga-rongga dada, mungkin saat itu aku akan tahu apa artinya cinta, kasih sayang, kesetiaan, bala budi dan harga diri.

0 komentar:

Posting Komentar

bagi komentar, saran dan kritiknya kawan.... (no spam)