Minggu, 11 Desember 2011

(Nominator GVlog) Hikayat Odha di Pulau Dewata

2 comments
Sebuah Bus berwarna putih kertas meluncur pelan,  ikut merayap dalam keramaian lalu lintas Denpasar. Di sekitar jalan Tukad Buaji yang sempit, tak jauh dari belokan terakhir sang sopir mengejak pedal rem. Rombongan AusAID turun dari kendaraan, mereka adalah 10 blogger, 3 orang dari AusAID, 1 orang HCPI, 1 orang dari yayasan Spiritia, dan tentu saja 2 orang dari vivanews. Bang Dani berjalan didepan, berperan sebagai penunjuk jalan, melangkahkan kaki menyusuri gang Lotus. Langkah kaki terhenti di sebuah rumah sederhana bernomer 30, dengan sebuah papan kecil di atas jendela bertuliskan “Yayasan Spirit Paramacita”. Sesampai  di beranda rombongan disambut oleh para anggota dan pengurus yayasan yang dulu bernama “Bali Plus” ini, tak butuh waktu lama untuk  membuat suasana menjadi cair dan bersahabat.

“selamat datang di pulau bali, dan selamat datang di bali plus” ucap perempuan cantik dengan pakaian batik menyambut kedatangan rombongan AusAID

Pada awalnya Yayasan Spirit Paramacita bernama Bali+ (bali plus), plus berarti positif dan diartikan dalam dua makna , Poritif HIV dan tetap memiliki pandangan positif untuk masa depan. Yayasan ini diinisiasi oleh 6 orang ODHA pada tahun 2001, tujuannya untuk saling memberi motivasi dan berbagi antar sesama ODHA yang terkadang dijauhi oleh beberapa komunitas masyarakat akibat stigma yang melekat pada orang dengan HIV.

“beban terberat ODHA adalah tekanan sosial, yang berakibat pada tekanan psikologis, ini yang sangat memberatkan ODHA, bukan sekedar fisik, karena kalau fisik ODHA tidak ada bedanya dengan yang lain” jelas Putu Utami salah satu dari kelompok penggagas.


Bisa dibilang Yayasan Spirit Paramacita adalah salah satu kelompok yang berhasil menggalang dukungan, bantuan serta berbagi motivasi, bahkan juga edukasi, baik tentang perlawanan terhadap bahaya HIV dan dukungan terhadap orang dengan HIV.Dibawah kelompok penggagas ini, terdapat kelompok-kelompok sebaya, seperti HOMBOYS dan WARCAN, kelompok-kelompok in berperan dalam pengorganisasian komunitas, dengan adanya kelompok sebaya maka memudahkan penjangkauan kampanya sampai akar rumput pada populasi kunci. Yang dimaksud populasi kunci yaitu komunitas dan kelompok masyarakat yang rawan tertular HIV, seperti PS (pekerja seks), waria, pelanggan, Penasun (Pengguna Narkoba Suntik), dan lain sebagainya. 

di KPAP Bali (foto @Eko Nugroho)

Bali+ tidak hanya bergerak pada kelompok sebaya dalam komunitas-komunitas, tapi juga berperan dalam kelompok sebaya di tingkat daerah seperti kabupaten. Dari sembilan kabupaten di sudah terdapat kelompok sebaya di enam kabupaten, beberapa diantaranya berhasil menjadi contoh bagus. Seperti di Singaraja yang dimotori oleh orangtua ODHA, Jembrana yang digawangi para kader Desa, dan salah satu yang mendapat raport bagus di mata Bali+ ada di kabupaten Tabanan.

Keberhasilan-keberhasilan yang dicapai Yayasan Spirit Paramacita, tidaklah berjalan mulus. Dilapangan masih saja banyak hambatan-hambatan yang muncul. Beberapa diantaranya seperti stigma buruk terhadap ODHA yang masih belum sepenuhnya dihilangkan.  Seperti yang terjadi di Gianyar ada tiga jenazah yang mengalami kesuliatn dalam prosesi pemandian, dikarenakan warga setempat masih takut akibat stigma yang melekat pada ODHA. Selain itu kesulitan-kesulitan lain seperti susahnya akses dokter anak seperti di utarakan Putu Utami

Namun susahnya dokter anak ini disanggah oleh Dr. Kt. Subrata dari dinas kesehatan,

“sekarang pemerintah mengaktifkan PMTCT (Prevention of Mother to Child Transmision) di rumah sakit seperti di sanglah, ini memudahkan akses dokter-dokter anak” ujar dokter ketut

Tapi data mencengangkan berbicara soal penanganan HIV pada anak-anak. Data ini disampaikan oleh Drh. Made Suprapta dari KPA (Komisi Penanggulangan Aids) Bali per september 2011. Ada 83 anak usia 1-4 tahun, 10 anak 5-14 tahun, dan sebanyak 44 anak dibawah 1 tahun.  Ada sekitar 137 anak terinveksi virus HIV. Melihat jalur-jalur penularan HIV yang didominasi oleh hubungan seks dan Narkoba jarum sunitik, jelas bahwa anak-anak tidak tertular lewat jalur ini. kemungkinan besar adalah lewat jalur Perinatal (Ibu ke janin). Artinya adalah masih kurangnya edukasi pada ODHA yang berniat memiliki anak, supaya anak-anaknya tidak menjadi ODHA. Danny Yatim dari HCPI (HIV Coorporation Program for Indonesia)menjelaskan tingginya presentase jalur Perinatal

“Ada 33% penularan HIV lewat interaksi ibu ke janin, ini tinggi akibat rendahnya eduksi padaODHA itu sendiri”  ujar Danny tegas.

Itulah sebabnya edukasi tetap memegang peranan penting dalam memutus mata rantai penularan virus HIV. Tidak hanya dari ibu ke janin, tapi juga pada jalur-jalur lain seperti, IDU atau Penasun, hubungan seks lawan jenis ataupun sejenis seperti MSM (gay).

Dalam program kunjungan rombongan AusAID tidak hanya bertemu dengan stakeholder yang ada seperti KPA (komisi Penanggulangan AIDS) dan Dinas Kesehatan, serta yayasan-yayasan yang peduli HIV/AIDS. Tapi juga mengunjungi tempat-tempat penanganan dan konseling HIV seperi Kisara-PKBI dan puskesmas kuta serta klinik. Bahkan diajak langsung melihat titik-titik populasi kunci, seperti lokalisasi sekitar Ubung dan kehidupan malam di Seminyak

***

Fokus edukasi tentang HIV memang tetap berpegang pada dua hal utama, pencegahan penularan dan menghapus stigma buruk pada ODHA. Dan ini bukanlah pekerjaan mudah serta juga bukan tanggungjawab satu fihak. Disini semua berperan tidak hanya urusan pemerintah lewat dinas hingga program trans-nation seperti program AusAID lewat HCPI. Justru dari  akar rumput seperti kelompok sebaya, organisas-organisasi, komunitas, bahkan kelompok kepemudaan.

Di Bali sebenarnya sistem cekal (cegah tangkal) penularan virus HIV sebetulnya sudah berjalan baik, bahkan mungkin salah satu yang terbaik di Indonesia. Tidak hanya pemerintah saja disini, tapi juga kerjasama antar pemerintah seperti program AusAID. Ini bukti bahwa HIV bukan sekedar masalah satu negara saja tapi sudah menjadi masalah global, hingga dalam penanganannya perlu adanya kerjasama antar negara.

Dimulai dari pencegahan di tingkat akar rumput dengan pembagian kondom gratis dan pembagian jarum suntik steril. Dua hal ini bukanlah melegalkan sex bebas dan penggunaan narkotika, tapi sebagai proses pencegahan awal di titik pertama. Tapi tetap pencegahan utama adalah edukasi untuk tidak melakukan prilaku beresiko.

“kondom dan jarum suntik steril, dibagikan pada pupulasi kunci untuk mengurani prilaku beresiko, ini penting pada pencegahan di awal, dan itu tetap dilakukan walau masih tersendat, seperti jumlah jarum suntik yang dikembalikan masih jauh lebih sedikit dari pada yang disebarkan, selain tentu saja program Methadone” ujar dr. Elly dari puskesmas kuta satu dengan nada prihatin.

Untuk menembus akar rumput dalam edukasi, jelas pemerintah susah masuk. Cara terbaik adalah masuk lewat komunitas, disinilah komunitas-komunitas berperan. Peran komunitas sangatlah penting dalam hal ini, karena terkadang populasi kunci memiliki ikatan khusus dalam komunitasnya. Arya misalnya dari GAYa Dewata menuturkan, masih ada kesulitan dalam melakukan edukasi pencegahan seperti pemakaian kondom, ini karena hal itu menyentuh privacy masing-masing. Tapi buat A yang merupakan aktivis di HOMBOYS dan WARCAN, punya peraturan lain. Ini dikarenakan anggota HOMBOYS  dan WARCAN berada pada populasi kunci paling beresiko, karena kebanyakan PS (Pekerja Seks), mereka diwajibkan tindakan “perlindungan diri” bagi anggotanya dan ada sanksi.


yayasan kerti praja (foto @Eko Nugroho)


Selain peran komunitas di gerbang awal, ada juga peranan pemerintah. Di Bali komitmen pemerintah cukup tinggi, ini dilihat dari “Komitmen Sanur” tahun 2004. Komitmen ini berisi 9 komitmen pemerintah dan juga 7 prioritas rencana 2008-2011, dari mulai pencegahan, perawatan, hingga pada kesinambungan penanggulangan dan pada akhirnya berfokus pada satu titik menghentikan penularan HIV. Untuk itulah pemerintah Bali mempermudah akses VCT (Voluntary Counseling and Testing- tes dan konseling sukarela). Ini sebagai langkah awal, dan bisa dilakukan dibanyak tempat di Bali terutama Denpasar, dari Klinik Kisara-PKBI, Klinik yayasan seperti di Kerti Praja, dan juga puskesmas.

Seandainya terbukti “reaktif” terduga akan dirujuk seperti ke RS. Sanglah untuk melakukan tes CD4 (sel darah putih). Selanjutnya  jika melalui tes darah ada bukti terkena HIV, pemerintah Bali memudahkan akses ARV (Anti Retrovial Drugs). ARV sebenarnya gratis, namun terkadang susah di akses, namun di  Bali cukup mudah di dapatkan.

***

Seperti diungkapkan diatas, masalah HIV tidak hanya masalah sebuah negara saja tapi juga menjadi permasalahan dunia. Itulah kenapa pemerintah Australia menjali kerjasama dengan Indonesia dalam penanganan HIV melalui program AusAID, dengan fokus utama di Papua, Papua Barat, dan Bali, selain tentu saja daerah-daerah lain di Indonesia. Dan di Indonesia dalam penanganan HIV/AIDS, fihak AusAID mendelegasikannya lewat HCPI.

Australia memberikan komitmen hingga A$100juta dalam kemitraan Australia untuk HIV 2008-2015, untuk mengurangi penyebaran HIV dan peningkatan kualitas hidup ODHA. Utamanya di bali lewat HCPI AusAID membantu berbagai program seperti yang digalakan di Puskesmas Kuta, yayasan spirit paramacita, yayasan kerti praja, dan berbagai program lain di KPA.

Prinsip kerjasama ini, berdasarkan pada komitmen jangka panjang dan sejalan dengan kebijakan pemerintah Indonesia. Selain itu berjalan pada semua level dari daerah hingga nasionalserta berfokus pada wilayah tertentu yang benar-benar membutuhkan.

Hal ini menunjukan bahwa teman-teman ODHA tidaklah sendiri, begitu banyak orang yang peduli. Namun terkadang stigma yang ada dimasyarakat hingga memunculkan diskriminasi  membuat teman-teman ODHA cendrung menutup diri. Itulah kenapa fokus utama dalam penanggulangan HIV/AIDS tidak saja pada pencegahan penularan tapi juga pada penghapusan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA. Jauhi virus-nya  rangkul teman-teman ODHA.




2 komentar:

  1. ini masalah yg pelik juga. karna masyarakat banyak yg masih takut berdekatan dg orang2 yg kena ODHA. padahal penularannya gak semudah itu.

    BalasHapus
  2. terkadang pemikiran masyarakat lebih tidak tahu, sebenarnya mereka hanyalah korban dari sebuah virus. Bukannya malah didukung, justru terkadang malah dijauhi.

    BalasHapus

bagi komentar, saran dan kritiknya kawan.... (no spam)