Mungkin bangsa kita adalah bangsa yang –paling tidak termasuk-- paling suka bikin istilah dan sekaligus mengacaukan istilah-istilah. Ada istilah-istilah yang sudah lazim dikacaukan menjadi tidak lazim dan sebaliknya yang tak lazim dilazim-lazimkan. Dan tidak jarang orang mempergunakan istilah tanpa mengerti maknanya, hanya karena ikut-ikutan sesuatu yang sudah populer sebagai istilah. Latah mungkin memang sudah menjadi salah satu perangai bangsa ini."
Kadang-kadang lucu. Ada tiga orang berdebat mengenai politik; yang satu pengertiannya tentang politik adalah A, yang satu mengartikan politik sebagai B, sementara bagi yang satunya lagi, politik ialah C. Maka perdebatan mereka pun ngalor-ngidul (seperti debat kusir yang juga entah dari mana istilah itu berasal) tidak karuan juntrungnya. Begitu juga halnya dengan istilah-istilah populer yang lain seperti agama, Islam, jihad, pemerintah, negara, nasionalis, Yahudi, zeonis, pruralisme, sekuler, liberal, syareat, ulama, teror, dakwah, amar makruf nahi munkar, dsb.
Boleh jadi hal itu --untuk yang suka bikin istilah-- terjadi karena kebiasaan suka pamer dan bergaya. Sedangkan bagi yang latah, mungkin karena kemalasan orang untuk melakukan tahqieq, menengok definisi, atau sekedar merunut maknanya. (Menganggap hal itu tidak penting; karena sejatinya yang penting hanyalah: kehendak dan pendapatnya sendiri). Dan hal seperti itu terus berlangsung, meskipun orang sudah melihat sendiri akibat buruk dari kerancuan istilah tersebut.
Kita ambil contoh dua istilah (saja) yang sudah populer digunakan: dakwah dan amar makruf (wan nahi ‘anil munkar). Kedua istilah ini sama-sama populer dan hampir setiap orang Islam –bahkan juga yang tidak—pernah mengucapkan atau mendengarkannya. Namun umumnya ya hanya mengucapkan dan mendengarkan. Seperti halnya ketika mengucapkan atau mendengarkan istilah politik, misalnya, orang tidak merasa perlu lagi melakukan tahqieq tentang pengertian dakwah dan amar makruf itu. Seolah-olah hal itu sudah ma’lumun fiddiini bidh-dharuurah, sesuatu yang sudah sangat dimengerti maknanya oleh semua orang. Padahal melihat sikap-sikap mereka yang mempergunakan –dan dalam kaitan-- istilah-istilah itu, menunjukkan kepada kita bahwa mereka mempunyai pengertian yang lain-lain.
Bila anda sudi meluangkan waktu, marilah kita coba melakukan tahqieq terhadap kedua istilah itu. Dakwah dan amar makruf itu.
Dakwah, seperti halnya banyak lafal yang berasal dari bahasa Arab, ketika masuk dalam perbendaharaan bahasa kita, mengalami pergeseran-pergeseran makna yang pada gilirannya juga berpengaruh kepada perilaku. Dakwah biasanya diartikan seruan dan propaganda. Dalam bahasa aslinya semula, dakwah mempunyai makna mengajak, memanggil, mengundang, meminta, memohon…Pendek kata makna-makna yang mengandung nuansa ‘halus’ dan ‘santun’. Sebagai istilah, dakwah yang kemudian dianggap sudah jelas maknanya ini, wallahu a’lam bish-shawab, tentunya bermula dari firman Allah seperti dalam Q. 16:125. “Ajaklah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan mau’idzah hasanah (lafal-lafal yang ditulis miring, seperti diketahui, juga sudah menjadi istilah yang populer di kita) dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik…”
Perhatikanlah; dalam ayat itu perintah ‘Ud’u, Ajaklah tidak disertai maf’ul bih atau objeknya seperti lazimnya fiil muta’addie. Para mufassir, biasanya ‘mengisi’ objeknya dengan an-naas, manusia (Jadi, “Ajaklah manusia ke jalan Tuhanmu …dst”). Saya sendiri menganggap penambahan tafsir dengan objek berupa an-naas, manusia, itu kok tidak perlu. Sebab kata-kata “ke jalan Tuhanmu” sudah cukup menjelaskan siapa yang disuruh Allah ajak. Logikanya tentu –wallahu a’lam—yang diajak adalah mereka yang belum di “jalan Tuhan”. Karena mengajak orang yang belum di jalan Tuhan, maka –lagi-lagi wallahu a’lam—mesti dilakukan dengan hikmah dan mau’idzah hasanah. Kalau pun harus berbantah, mesti dengan cara yang lebih bagus dari lawan berbantah. Dan perintah ini dilaksanakan dengan sangat sempurna oleh Rasulullah saw. Dengan lembut dan penuh kasih, dengan bijaksana dan nasihat yang baik, Rasulullah mengajak mereka yang belum berada di jalan Allah. Bila perlu berbantahan, Rasulullah saw bersikap sangat santun. Hasilnya, dakwah beliau diterima dan orang-orang yang semula belum di jalan Allah pun berbondong-bondong menuju ke dan berjalan di jalanNya. Perintah ini juga dengan baik dilaksanakan oleh penerusnya; termasuk para wali, Wali Songo. (Bila penduduk negeri ini kemudian mayoritas berjalan di jalanNya, pastilah tidak terlepas dari dakwah mereka yang sesuai dengan arahan Quran itu). Bandingkanlah dengan dakwah masa kini yang nota bene hanya lebih kepada mereka yang sebenarnya sudah berada di jalan Allah.
Amar makruf, berbeda dengan dakwah, bukan sekedar ajakan, tapi perintah; sebagaimana nahi adalah larangan, bukan sekedar himbauan. Amar makruf nahi munkar, adalah ciri komunitas kaum beriman (Baca misalnya, Q. 3: 110; 9: 71; dlsb).
Sebagai ciri, ia sama sebanding dengan rahmatan lil ‘aalamien. Artinya –paling tidak menurut pemahaman saya—amar makruf nahi munkar itu tidak lain merupakan manivestasi atau pengejawentahan dari kasih sayang. Mengasihi dan menyayangi maka mengamar-makruf-nahi-munkari. Muslim yang mukmin yang melakukan amar-makruf nahi-munkar, ibarat dokter yang mengobati pasiennya karena ingin menyembuhkan. Dokter yang baik akan berusaha mengenali pasiennya dan mencari cara penyembuhan yang paling meringankan pasiennya. Jika harus memberi obat, sedapat mungkin mencarikan obat yang sesuai dengan pasiennya. Bila si pasien tidak mau disuntik atau tidak harus disuntik, sang dokter akan memberikan obat. Ini pun bila obat itu pahit, dipilihkan yang terbungkus kapsul, agar si pasien tidak merasakan pahitnya. Kalau pun terpaksa harus melakukan operasi, dokter tidak begitu saja membedah pasiennya, namun bermusyawarah dulu dengan keluarga si pasien. Karena dokter mengobati pasien, sebagaimana mukmin yang mengamar-makruf-nahi-munkari saudaranya, didasarkan kepada kasih sayang kemanusiaan. Bukan berdasarkan kebencian.
Mereka yang ber-amar-makruf-nahi(‘anil)munkar oleh dan dengan penuh kebencian, sebagaimana mereka yang berdakwah secara kasar dan provokatif, kiranya perlu meneliti diri mereka lagi. Apakah mereka melakukan itu atas dorongan ghirah keagamaan ataukah atas dorongan nafsu dan kepentingan lain. Atau mereka perlu lebih memperdalam pemahaman terhadap agama mereka, ajaran-ajaran, dan istilah-istilahnya. Jika tidak, disangkanya mendapatkan ridha Allah, alih-alih malah mendapatkan murkaNya. Nau’udzu billah.
sumber : gusmus.net
0 komentar:
Posting Komentar
bagi komentar, saran dan kritiknya kawan.... (no spam)