Senin, 31 Mei 2010

Berdakwah dengan Kekerasan dan Kebencian, Haruskah?

Leave a Comment

mungkin ada Tuhan di suatu tempat, bersembunyi. Sebenarnya, jika Dia tetap tidak terlihat, mungkin itu karena Dia “malu” pada para -yang mengaku- pengikut-Nyayang merasa bertanggung jawab untuk mempromosikan nama-Nya dengan melakukan semua kekejaman dan kebodohan.

Allahuakbar ,semasa saya kecil kata itu hanya di teriakan dalam adzan, dan sekalinya di terikan adalah ketika menyambut dua hari raya besar idul fitri dan idul adha, teriakan itu tidak pernah terdengar di pasar apalagi di barengi dengan gerakan tangan memukul dan menghancurkan. dulu kata itu di terikan hanya saat memukul bedug dan kentongan, bukan memukuli manusia, melempar baru, hingga menghancurkan. dulu saat kecil yang meneriakan itu adalah anak-anak bercelana kolor berkaus oblong dengan peci hitam dan sarung yang dislempangkan di bahu. kata Allahuakbar begitu agung, hingga takbir hanya didengungkan dengan nyaring dan penuh hikmah ketika akan menymbut hari besar.

kini kata itu sangat pasaran, mereka yang berjubah, berpakaian persis orang-orang arab, sering berteriak dengan lantang di mana-mana, seolah esensi kata itu hanya untuk menghancurkan, untuk perang, seolah dengan kata itu, para “pendakwah” mendapat legitimasi Tuhan, dan merasa besar dan berhak berbuat seenaknya. tidakkah mereka memahami esensi dari takbir.

Takbir terucap ketika pangkal utama syaraf bergerak untuk berserah dan bersimpuh dihadapan sang khalik, takbir bukan membuat manusia mengepalkan tangan keatas, mata garang dan melotot kedepan dengan tongkat dan celurit, tapi esensi takbir adalah meletakan kedua tangan didada, menundukan kepala, khusyu menunduk, berserah diri, bahwa takbir itu Allahuakbar adalah menempatkan posisi Tuahan pada kebesaran yang maha dasyat dan manusia maha esensi yang sangat kecil. ketika takbir terucap saat itu adalah pengakuan bahwa manusia bukanlah apa-apa dan tidak berhak untuk menghancurkan, tidak berhak memukul karena bahwa sejatinya semua adalah makhluk yang dicipta Allah Subhanahu Wa’tala.
tapi mereka yang berjubah di jalanan selalu merasa berhak menjadi seolah penegak kebenaran sejati, seolah bahwa pemahamannya adalah yang paling benar, Hujjah-nya, tidak tanggung-tanggung seperti membela Islam, menegakkan syariat, amar makruf nahi munkar, memurnikan agama, dsb. Cirinya yang menonjol : sikap merasa benar sendiri dan karenanya bila bicara suka menghina dan melecehkan mereka yang tidak sepaham. Suka memaksa dan bertindak keras dan kasar kepada golongan lain yang mereka anggap sesat. Seandainya kita tidak melihat mereka berpakaian Arab dan sering meneriakkan “Allahu Akbar!”, kita sulit mengatakan mereka itu orang-orang Islam. Apalagi bila kita sudah mengenal pemimpin tertinggi dan panutan kaum muslimin, Nabi Muhmmad SAW.

Seperti kita ketahui, Nabi kita yang diutus Allah menyampaikan firman-Nya kepada hamba-hamba-Nya, adalah contoh manusia paling manusia. Manusia yang mengerti manusia dan memanusiakan manusia. Rasulullah SAW seperti bisa dengan mudah kita kenal melalui sirah dan sejarah kehidupannya, adalah pribadi yang sangat lembut, ramah dan menarik. Diam dan bicaranya menyejukkan dan menyenangkan. Beliau tidak pernah bertindak atau berbicara kasar.

boleh saja mungkin mereka selalu menghapal hadist-hadist dan ayat Al Quran tentang perjuangan, dan segala macamnya, tapi mungkin saja mereka lupa atau melewatkan hadist
Sahabat Anas r.a yang lama melayani Rasulullah SAW, seperti diriwayatkan imam Bukhari, menuturkan bahwa Rasulullah SAW bukanlah pencaci, bukan orang yang suka mencela, dan bukan orang yang kasar.
Sementara menurut riwayat Imam Turmudzi, dari sahabat Abu Hurairah r.a:Rasulullah SAW pribadinya tidak kasar, tidak keji, dan tidak suka berteriak-teriak di pasar.
Jadi, saya tidak bisa mengerti bila ada umat Nabi Muhammad SAW, berlaku kasar, keras dan kejam. Ataukah mereka tidak mengenal pemimpin agung mereka yang begitu berbudi, lemah- lembut dan menyenangkan; atau mereka mempunyai panutan lain dengan doktrin lain.
saya hanya menyayangkan saja pakaian jubah putih khas Rosul itu harus ternoda dengn sikap yang sesungguhnya tidak mencerimnkan sikap dan sifat Rosul. bukankah Allah pernah berfirman dalam salah satu ayatnya Fabima rahmatin minallaahi linta lahum walau kunta fazhzhan ghaliizhalqalbi lanfadhdhuu min haulika …” , Maka disebabkan rahmat dari Alllah, kamu lemah lembut kepada mereka. Seandainya kamu berperangai keras berhati kasar, niscaya mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu…”

karena sikap yang penuh kebencian ini justru menjauhkan Islam dan wajah lemah-lembut. Kalau memang ya, bukankah kitab suci kita al-Quran sudah mewanti-wanti, berpesan dengan sangat agar kita tidak terseret oleh kebencian kita kepada suatu kaum untuk berlaku tidak adil. “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian penegak-penegak kebenaran karena Allah (bukan karena yang lain-lain!), menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap suatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah; adil itu lebih dekat kepada takwa dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (Baca Q. 5: 9).

Hampir semua orang Islam mengetahui bahwa Rasulullah SAW diutus utamanya untuk menyempurnakan budi pekerti. Berdakwah adalah menarik orang bukan membuat orang lari.dan bagaimana mungkin menarik dan mengjak orang berbuat kebaikan dengan sikap yang kasar dan dainya sangar-sangar. orang justru akan benci dan tidak simpatik, jika pun mungkin orang akan ikut, itu bisa jadi akibat ketakutan, bukan atas dasar hati yang tercerahkan.

0 komentar:

Posting Komentar

bagi komentar, saran dan kritiknya kawan.... (no spam)